BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Desa
Menurut
Prof.Bintarto, desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografis, sosial
ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat disuatu daerah dalam hubungan dan
pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sementara itu, Paul. H.
Landis, seorang ahli geografi dari Amerika mendefinisikan desa sebagai suatu
wilayah yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri: (1)
Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal, (2) memiliki pertalian perasaan
yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, (3) cara berusaha bersifat
agraris yang sangat dipengaruhi oleh keadaan alam seperti iklim dan kekayaan
alam, serta (4) pekerjaan-pekerjaan yang bukan agraris merupakan pekerjaan
pekerjaan sambilan. Sedangkan menurut UU No.5 tahun1979 pasal 1, desa adalah
suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, desa adalah unit pemerintahan
yang secara langsung berada dibawah kecamatan dengan ciri-ciri:
a.
Mempunyai
wilayah tertentu,
b.
Mempunyai
system masyarakat sendiri,
c.
Mempunyai
pemerintahan sendiri,
d.
Berada
langsung dibawah kecamatan, dan
e.
Mempunyai
kebiasaan-kebiasaan pergaulan sendiri.
Pola
keruangan desa dibagi menjadi tiga sebagai berikut:
a.
Pola
tersebar, biasanya terdapat pada desa yang terletak di daerah homogeny, tetapi
dengan kesuburan tidak merata.
b.
Pola
linier atau memanjang, biasanya terletak di sepanjang jalan, arus sungai, dan
daerah pantai.
c.
Pola
mengelompok, biasanya terletak disuatu daerah pertanian, beberapa rumah
mengelompok.
Adapun tipe-tipe desa berdasarkan
perkembangan masyarakat dibedakan sebagai berikut:
a. Desa tradisional, yaitu tipe desa pada masyarakat suku terasing yang
seluruh kehidupan masyarakatnya masing sangat bergantung kepada alam
sekitarnya.
b. Desa swadaya, yaitu tipe desa yang memiliki cirri-ciri: penduduknya jarang,
masih terikat oleh kebiasaan-kebiasaan adat, hanya mempunyai lembaga-lembaga
yang sederhana, tingkat pendidikan masyarakat rendah, produktifitas tanah
rendah, kegiatan penduduk mempengaruhi keadaan alam,dan lain-lain.
c. Desa swakarya, yaitu desa yang tingkat perkembangannya sudah lebih maju.
d. Desa
swasembada, yaitu desa yang telah maju, serta system perhubungan dan
pengangkutan tersedia dengan baik.[1]
Meskipun
pembangun desa selalu menjadi fokus perhatian pemerintah sejak Indonesia
mengawali kemerdekaannya, namun sosok strategi pembangunan desa seringkali mengalami
perubahan. Hal ini memanivestasikan, bukan hanya proses pencaharian strategi
pembangunan desa yang di pandang paling efektif untuk suatu kurun waktu
tertentu, akan tetapi juga merefleksikan pengaruh strategi pembangunan nasional
pada tingkat makro yang di anut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian
dari waktu ke waktu kita mengenal varian strategi pembangunan desa. Disekitar
tahun 1959 perhatian pemerintah terhadap pembangunan desa ini makin meningkat
sebagai mana terbukti dengan didirikannya departemen yang membidangi
pembangunan desa, yaitu Departemen transkopemada (transmigrasi, operasi, dan
pembaangunan desa). Fungsi Biro Pembanguna Desa yang tadinya berada di Kantor
Perdana Mentri kemudian dialihkan ke Departemen Transkopemada.
Strategi yang di gunakan banyak di
ilhami oleh konsep community development. Titik berat pembangunan desa adalah
pada pembangunan masyarakatnya. Titik tekannya adalah pada pembentukan
kader-kader pembangunan masyarakat desa yang diharapkan akan menopang
tercapainya masyarakat desa yang berswasembada. Pembangunan desa pada waktu itu
dilaksanakan berdasarkan Rencana Pembangunan lima Tahun 1956-1960
(undang-undang No.85 tahun 1958) yang dirumuskan oleh Biro Prancang Negara. Titik
berat pembangunan desa adalah pada pembangunan masyarakatnya, dan karenanya,
istilah yang digunakan adalah Pembangunan Masyarakat Desa (PMD).
Dengan demikian pembangunan masyarakat
desa dilakukan berdasarkan 3 azas, yaitu azas pembangunan integral, azas
kekuatan sendiri, dan azas pemufakatan bersama:
Pertama, Azas pembangunan integral ialah
pembangunan yang seimbang dari semua segi-segi masyarakat desa (pertanian,
pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya), sehingga menjamin sutau perkebangan
yang selaras dan yang tidak berat sebelah. Tetapi perlu diingat bahwa untuk
masa permulaan titik berat terutama harus diletakkan daam pembangunan ekonomi.
Kedua, yang dimaksud dengan azas kekuatan
sendiri ialah bahwa tiap-tiap usaha pertama-tama harus didasarkan pada kekuatan
atau kemampuan desa sendiri, dengan tidak menunggu-menunggu pemberian dari
pemerintah.
Ketiga, azas permufakatan bersama diartikan
bahwa usaha pembangunan harus dilaksanakan dalam lapangan-lapangan yang benar
dirasakan sebagai kebutuhan oleh anggota-anggota masyarakat desa yang
bersangkutan, sedang putusan untuk melaksanakan proyek itu bukannya berdasarkan
atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama anggota masyarakat
desa.
Nampak
jelas bahwa pembangunan desa pada waktu ini telah mengintegrasikan ide-ide
kemandirian dalam pembangunan desa. Namun keterbatasan dana mengakibatkan
pembangunan masyarakat dsa ini dilaksanakan bertahap, pada daerah kerja
pembangunan masyarakat desa dengan mendasarkan pada kosep olie vlek strategy.
B. Pembangunan
Desa dan Orientasi Pertumbuhan
Situasi
ekonomi yang diwarisakan oleh pemerintah orde lama kepada pemerintah orde baru
memberi “batas toleransi untuk berbuat kesalahan” (margin of error) yang begitu
sempit. Kesalahan dalam kebijakan pembangunan nasional pada umumnya, dan
pembangunan ekonomi pada khusunya, dapat menimbulkan akibat yang fatal bagi
bangsa dan negara indonesia. Konsolidasi, rehabilitasi dan stabilisasi
kehidupan ekonomi segera dilaksakan dimana pembangunan nasional selanjutnya
akan bertumpu.
Paradigma
pembangunan nasional pada tingkat makro ini dengan sendirinya mewarnai strategi
pembangunan desa. Target produksi padi sebesar 15,4 juta ton rata-rata per
tahun (yang ditinjau dari kondisi pertanian pada waktu itu merupakan sasaran
yang amat tinggi) segera menuntut wahana struktural untuk mencapainya.
Kapitalisai
sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan integrasi dengan sasaran
internasional dilaksanakan melalui program bimbingan masal (bimas) yang pada
hakekatnya merupakan top down bureaucratic
approach yang
berorientasi pada target, dengan menjadikan “proyek kerawang” yang diprakarsai
IPB sebagai modelnya.
Pembangunan
pedesaan pada waktu itu didasakan pada modernization theory dan dilakukan melalui tranplantasi
satuan produksi yang padat modal ke dalam sektor pertanian tradisional yang
padat karya dengan harapan mendorong distribusi pendapatan melalui trickle-down
effect dan pemanfaatan teknologi pertanian modern. (Hannig, 1986)
Pendekatan yang demikian memang
menimbulkan ketergantungan desa pada pemerintah. Fungsi-fungsi yang tadinya
secara tradisional merupakan fungsi desa, seperti pemeliharaan saluran tertier,
pengelolaan lumbung desa, dan sebagainya, lambat laun dilaksanakan melalui
intervensi pemerintah. Dengan Bimas yang disempurnakan yang diilhami oleh
proyek rintisan fakultas pertanian UGM memang ciri top-down ini agak
berkurang, dan partisipasi petani didorong melalui rangsangan-rangsangan harga.
Sementara
itu, strategi baru pembangunan desa mulai diperkenalkan. Strategi ini
membedakan tiga tingkat perkembangan desa, yaitu desa tradisional (swadaya),
desa transisional (swakarya) dan desa modern (swasembada) berdasarkan atas
sejumlah tolak ukur yang berskala tiga (3), yaitu mata pencaharian (E),
produktivitas desa (Y), adat-istiadat (A), pendidikan dan keterampilan (Pd),
kelembagaan desa (L), swadaya gotong-royong (Gr) dan prasarana dan sarana (P).
Desa yang mempunyai nilai 7-11 dimasukkan dalam kategori desa swadaya, nilai
12-16 desa swakarya dan nilai 17-21 desa swasembada. Tujuan pembangunan
nasional adalah meningkatkan desa swadaya dan swakarya menjadi desa swasembada
dan pada akhirnya menjadi desa pancasila. Untuk mempercepat proses transisi
desa berdasar jenjang tipologi desa ini, diletakan suatu mekanisme yang dikenal
dengan unit daerah kerja pembangunan. Secara formal UDKP ini didefinisikan
sebagai suatu sistem untuk mempercepat tercapainya desa swasembada dengan
mengembangkan desa-desa di wilayah kecamatan secara menyeluruh dan tekoordinasi,
di mana pembinaannya manunggal dalam fungsi dan tanggung jawab camat sebagai
kepala wilayah berdasarkan undang-undang no. 5 tahun 1974. Sistem tersebut
merupakan rangkaian dari sub-sub sitem pembangunan yang saling berkaitan dan
mencakup atribut-atribut sebagai berikut ( Dirjen Pembangunan Desa, 1977/1978, p.6):
-
Adanya
perencanaan yang komprehensif dan integrative
-
Pelaksanaan
pembangunan yang terkoordinir secara mantap
-
Perkembangan
desa-desa berpedoman tata desa yang baik
-
Adanya
usaha-usaha kaderisasi pembangunan desa
-
Peningkatan
pembangunan prasarana dan pemenuhan sarana kerja
-
Adanya
usaha-usaha untuk penerapan teknologi yang tepat di daerah tertentu.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa UDKP adalah suatu sitem yang dapat dipergunakan oleh departemen
maupun lembaga-lembaga non-departemen untuk lebih mengorientasikan unit
pemerintahan kecamatan kepada aspek dan mekanisme operasional pembangunan
sektoral didaerah dengan memanfaatkan jalur-jalur hirarki dan dekonsentrasi.
Melalui mekanisme ini diharapkan keterpaduan perencanaan progrm pada tingkat
kecamatan dibawah koordinasi camat.
Dari adanya pensifatan di
atas antara lain melalui kewenangan koordinatif camat, keharusan berpedoman
pada tata desa, pemanfaatan jalur-jalur hirarki dan dekonsentrasi, kesemuanya
mencerminkan pendekatan elitist berdasarkan sikap patronizing. Bottom-up
planning yang dilaksakan melalui LKMD masih diwarnai sikap birokrasi lokal
yang patronizing. Proses ini tidak banyak memberi peluang pada institusional
learning yang mutlak diperlukan dalam mencapai kemandirian pembangunan
desa.