Kamis, 08 Mei 2014

Pembangunan Desa dan Orientasi Pertumbuhan



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Desa

          Menurut Prof.Bintarto, desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografis, sosial ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat disuatu daerah dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sementara itu, Paul. H. Landis, seorang ahli geografi dari Amerika mendefinisikan desa sebagai suatu wilayah yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri: (1) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal, (2) memiliki pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, (3) cara berusaha bersifat agraris yang sangat dipengaruhi oleh keadaan alam seperti iklim dan kekayaan alam, serta (4) pekerjaan-pekerjaan yang bukan agraris merupakan pekerjaan pekerjaan sambilan. Sedangkan menurut UU No.5 tahun1979 pasal 1, desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, desa adalah unit pemerintahan yang secara langsung berada dibawah kecamatan dengan ciri-ciri:
a.       Mempunyai wilayah tertentu,
b.      Mempunyai system masyarakat sendiri,
c.       Mempunyai pemerintahan sendiri,
d.      Berada langsung dibawah kecamatan, dan
e.       Mempunyai kebiasaan-kebiasaan pergaulan sendiri.

Pola keruangan desa dibagi menjadi tiga sebagai berikut:
a.       Pola tersebar, biasanya terdapat pada desa yang terletak di daerah homogeny, tetapi dengan kesuburan tidak merata.
b.      Pola linier atau memanjang, biasanya terletak di sepanjang jalan, arus sungai, dan daerah pantai.
c.       Pola mengelompok, biasanya terletak disuatu daerah pertanian, beberapa rumah mengelompok.

Adapun tipe-tipe desa berdasarkan perkembangan masyarakat dibedakan sebagai berikut:
a.       Desa tradisional, yaitu tipe desa pada masyarakat suku terasing yang seluruh kehidupan masyarakatnya masing sangat bergantung kepada alam sekitarnya.
b.      Desa swadaya, yaitu tipe desa yang memiliki cirri-ciri: penduduknya jarang, masih terikat oleh kebiasaan-kebiasaan adat, hanya mempunyai lembaga-lembaga yang sederhana, tingkat pendidikan masyarakat rendah, produktifitas tanah rendah, kegiatan penduduk mempengaruhi keadaan alam,dan lain-lain.
c.       Desa swakarya, yaitu desa yang tingkat perkembangannya sudah lebih maju.
d.      Desa swasembada, yaitu desa yang telah maju, serta system perhubungan dan pengangkutan tersedia dengan baik.[1]

          Meskipun pembangun desa selalu menjadi fokus perhatian pemerintah sejak Indonesia mengawali kemerdekaannya, namun sosok strategi pembangunan desa seringkali mengalami perubahan. Hal ini memanivestasikan, bukan hanya proses pencaharian strategi pembangunan desa yang di pandang paling efektif untuk suatu kurun waktu tertentu, akan tetapi juga merefleksikan pengaruh strategi pembangunan nasional pada tingkat makro yang di anut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian dari waktu ke waktu kita mengenal varian strategi pembangunan desa. Disekitar tahun 1959 perhatian pemerintah terhadap pembangunan desa ini makin meningkat sebagai mana terbukti dengan didirikannya departemen yang membidangi pembangunan desa, yaitu Departemen transkopemada (transmigrasi, operasi, dan pembaangunan desa). Fungsi Biro Pembanguna Desa yang tadinya berada di Kantor Perdana Mentri kemudian dialihkan ke Departemen Transkopemada.

          Strategi yang di gunakan banyak di ilhami oleh konsep community development. Titik berat pembangunan desa adalah pada pembangunan masyarakatnya. Titik tekannya adalah pada pembentukan kader-kader pembangunan masyarakat desa yang diharapkan akan menopang tercapainya masyarakat desa yang berswasembada. Pembangunan desa pada waktu itu dilaksanakan berdasarkan Rencana Pembangunan lima Tahun 1956-1960 (undang-undang No.85 tahun 1958) yang dirumuskan oleh Biro Prancang Negara. Titik berat pembangunan desa adalah pada pembangunan masyarakatnya, dan karenanya, istilah yang digunakan adalah Pembangunan Masyarakat Desa (PMD).

          Dengan demikian pembangunan masyarakat desa dilakukan berdasarkan 3 azas, yaitu azas pembangunan integral, azas kekuatan sendiri, dan azas pemufakatan bersama:
          Pertama, Azas pembangunan integral ialah pembangunan yang seimbang dari semua segi-segi masyarakat desa (pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya), sehingga menjamin sutau perkebangan yang selaras dan yang tidak berat sebelah. Tetapi perlu diingat bahwa untuk masa permulaan titik berat terutama harus diletakkan daam pembangunan ekonomi.
          Kedua, yang dimaksud dengan azas kekuatan sendiri ialah bahwa tiap-tiap usaha pertama-tama harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan desa sendiri, dengan tidak menunggu-menunggu pemberian dari pemerintah.
          Ketiga, azas permufakatan bersama diartikan bahwa usaha pembangunan harus dilaksanakan dalam lapangan-lapangan yang benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh anggota-anggota masyarakat desa yang bersangkutan, sedang putusan untuk melaksanakan proyek itu bukannya berdasarkan atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama anggota masyarakat desa.
          Nampak jelas bahwa pembangunan desa pada waktu ini telah mengintegrasikan ide-ide kemandirian dalam pembangunan desa. Namun keterbatasan dana mengakibatkan pembangunan masyarakat dsa ini dilaksanakan bertahap, pada daerah kerja pembangunan masyarakat desa dengan mendasarkan pada kosep olie vlek strategy.

B.  Pembangunan Desa dan Orientasi Pertumbuhan

          Situasi ekonomi yang diwarisakan oleh pemerintah orde lama kepada pemerintah orde baru memberi “batas toleransi untuk berbuat kesalahan” (margin of error) yang begitu sempit. Kesalahan dalam kebijakan pembangunan nasional pada umumnya, dan pembangunan ekonomi pada khusunya, dapat menimbulkan akibat yang fatal bagi bangsa dan negara indonesia. Konsolidasi, rehabilitasi dan stabilisasi kehidupan ekonomi segera dilaksakan dimana pembangunan nasional selanjutnya akan bertumpu.
          Paradigma pembangunan nasional pada tingkat makro ini dengan sendirinya mewarnai strategi pembangunan desa. Target produksi padi sebesar 15,4 juta ton rata-rata per tahun (yang ditinjau dari kondisi pertanian pada waktu itu merupakan sasaran yang amat tinggi) segera menuntut wahana struktural untuk mencapainya.


          Kapitalisai sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan integrasi dengan sasaran internasional dilaksanakan melalui program bimbingan masal (bimas) yang pada hakekatnya merupakan top down bureaucratic approach yang berorientasi pada target, dengan menjadikan “proyek kerawang” yang diprakarsai IPB sebagai modelnya.
          Pembangunan pedesaan pada waktu itu didasakan pada modernization theory dan dilakukan melalui tranplantasi satuan produksi yang padat modal ke dalam sektor pertanian tradisional yang padat karya dengan harapan mendorong distribusi pendapatan melalui trickle-down effect dan pemanfaatan teknologi pertanian modern. (Hannig, 1986)
Pendekatan yang demikian memang menimbulkan ketergantungan desa pada pemerintah. Fungsi-fungsi yang tadinya secara tradisional merupakan fungsi desa, seperti pemeliharaan saluran tertier, pengelolaan lumbung desa, dan sebagainya, lambat laun dilaksanakan melalui intervensi pemerintah. Dengan Bimas yang disempurnakan yang diilhami oleh proyek rintisan fakultas pertanian UGM memang ciri top-down ini agak berkurang, dan partisipasi petani didorong melalui rangsangan-rangsangan harga.
          Sementara itu, strategi baru pembangunan desa mulai diperkenalkan. Strategi ini membedakan tiga tingkat perkembangan desa, yaitu desa tradisional (swadaya), desa transisional (swakarya) dan desa modern (swasembada) berdasarkan atas sejumlah tolak ukur yang berskala tiga (3), yaitu mata pencaharian (E), produktivitas desa (Y), adat-istiadat (A), pendidikan dan keterampilan (Pd), kelembagaan desa (L), swadaya gotong-royong (Gr) dan prasarana dan sarana (P). Desa yang mempunyai nilai 7-11 dimasukkan dalam kategori desa swadaya, nilai 12-16 desa swakarya dan nilai 17-21 desa swasembada. Tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan desa swadaya dan swakarya menjadi desa swasembada dan pada akhirnya menjadi desa pancasila. Untuk mempercepat proses transisi desa berdasar jenjang tipologi desa ini, diletakan suatu mekanisme yang dikenal dengan unit daerah kerja pembangunan. Secara formal UDKP ini didefinisikan sebagai suatu sistem untuk mempercepat tercapainya desa swasembada dengan mengembangkan desa-desa di wilayah kecamatan secara menyeluruh dan tekoordinasi, di mana pembinaannya manunggal dalam fungsi dan tanggung jawab camat sebagai kepala wilayah berdasarkan undang-undang no. 5 tahun 1974. Sistem tersebut merupakan rangkaian dari sub-sub sitem pembangunan yang saling berkaitan dan mencakup atribut-atribut sebagai berikut ( Dirjen Pembangunan Desa, 1977/1978, p.6):
-          Adanya perencanaan yang komprehensif dan integrative
-          Pelaksanaan pembangunan yang terkoordinir secara mantap
-          Perkembangan desa-desa berpedoman tata desa yang baik
-          Adanya usaha-usaha kaderisasi pembangunan desa
-          Peningkatan pembangunan prasarana dan pemenuhan sarana kerja
-          Adanya usaha-usaha untuk penerapan teknologi yang tepat di daerah tertentu.

          Selanjutnya dijelaskan bahwa UDKP adalah suatu sitem yang dapat dipergunakan oleh departemen maupun lembaga-lembaga non-departemen untuk lebih mengorientasikan unit pemerintahan kecamatan kepada aspek dan mekanisme operasional pembangunan sektoral didaerah dengan memanfaatkan jalur-jalur hirarki dan dekonsentrasi. Melalui mekanisme ini diharapkan keterpaduan perencanaan progrm pada tingkat kecamatan dibawah koordinasi camat.
          Dari adanya pensifatan di atas antara lain melalui kewenangan koordinatif camat, keharusan berpedoman pada tata desa, pemanfaatan jalur-jalur hirarki dan dekonsentrasi, kesemuanya mencerminkan pendekatan elitist berdasarkan sikap patronizing. Bottom-up planning yang dilaksakan melalui LKMD masih diwarnai sikap birokrasi lokal yang patronizing. Proses ini tidak banyak memberi peluang pada institusional learning yang mutlak diperlukan dalam mencapai kemandirian pembangunan desa.


[1] Dikutip dari K. Wardiyatmoko, 2004 “Geografi SMA jilid 2 Untuk kelas XI”