Senin, 06 Oktober 2014

BERBAGAI JENIS MACAM HUJAN



Berbagai jenis macam hujan

          Sebelum membahas berbagai macam hujan sebaiknya mengetahui apa itu hujan. Hujan dalam artian sederhana adalahg air yang jatuh dari langit. Terjadinya hujan atau Presitipasi merupakan salah satu dari kegiatan siklus air. Hujan merupakan titik-titik air yang berjatuhan dari udarakarena proses pengembunan. Pada dsarnya, hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi non-cair seperti salju, batu es,dan slit. Hujan memerlukan lapisan atmosfer tebal yang suhunya di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan bumi.
          Di bumi, hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfger menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh. Dua proses yang mungkin terjadi bersamaan dapat mendorong udara semakin jenuh mejelang hujan, yaitu pendinginan udara atau penambahan uap air ke udara.[1]
          Berikut adalah jenis dan macam hujan yang disebabkan berbagai fenomema alam baik itu alami maupun buatan :

1.     Hujan Asam
          Air hujan yang telah tgercemar gas karbon monoksida (CO) sehingga bersifat asam. Jika mengenai tanaman atau hewan secara langsung, hujan asam dapat memperlambat pertumbuhannya dan bahkan membunuh makhluk hidup tersebut. Hujan asam disebabkan oleh zat pencemar oksida belerang dan oksida nitrogen yang dihasilkan dalam pembakaran bahan bakar minyak dan batu bara.
          Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung berapi dan dari proses biologis di tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan oleh aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama amonia). Gas-gas yang dihasilkan oleh proses ini dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer di atmosfer sebelum berubah menjadi asam dan terdeposit ke tanah.
Hujan asam karena proses industri telah menjadi masalah yang penting di Republik Rakyat Tiongkok, Eropa Barat, Rusia dan daerah-daerah di arahan anginnya.


2.    Hujan Batu Es
          Hujan yang berupa curahan batu es yang turun di dalam cuaca panas dari awan yang tgemperaturnya di bawah titik beku.


3.    Hujan Deras
          Hujan yang curahan air yang turun dari awan dengan suhu udara di atas titik beku dan diameter butirannya kurang lebih 5 mm. Hujan deras dalam bahasa inggris biasa disebut juga “rain”.

4.    Hujan Es
          Hujan yang terdiri atas butir-butir es yang kecil dan bulat, serta berdiameter antgara 5 – 50 mm. butir-butir ini dapat mencapai ukuran sebesar kelereng. Apabila butir-butir es itu dikerat maka akan terlihat lapisan-lapisan yang konsentris dengan kerapatan yang berbeda. Hujan es jatuh pada waktu hujan Guntur dari awan cumulonimbus. Biasanya, terjadi pada waktu awal musim penghujan atau pada akhir musim kemarau yang panjang. hujan es disebut juga “hgail stgone”.

5.    Hujan Frontal
          Hujan yang terjadi sebagai akibat pertemuan antara dua massa udara yang berbeda suhunya, yaitu yang satu panas, sedangkan yang lain dingin. Massa udara yang panas dan mengandung uap air bergerak naik seperti menaiki lereng di atas massa udara yang dingin. Sedangkan udara dingin yang berbeda di bagian bawah seperti merunduk menyusup di bawah udara panas.

6.    Hujan Gerimis
          Hujan yang diameter butir-butir air hgasil kodensasinya kurang dari 0,5 mm. Hujan gerimis disebut juga dalam bahasa Inggris sebagai “drizzle”.

7.    Hujan Konveksi
          Hujan yang terjadi karena udara yang panas dari oermukaan bumi naik dan berangsur menjadi dingin hinggga mencapai titik kondensasi. Hujan ini terjadi di pedalaman benua pada musim panas, sedangkan di daerah khatulistiwa terjadi setahun penuh.

8.    Hujan Muson
          Hujan yang tgerjadi di daerah-daerah muson. Hujan muson ini terjadi Bulan Oktober-April.

9.    Hujan Orografis
          Hujan yang terjadi karena awan yang membawa hujan diarak oleh angin dari bagian permukaan bumi yang rendah menaiki lereng gunung atau pegunungan. Pada ketinggian tertentu, uap air mengalami kondensasi sehingga terjadilah hujan di lereng pegunungan tersebut.

10. Hujan Salju
          Hujan yang terdiri atas Kristal-kristgal es dengan suhu udara berada di bawah titgik beku. Tgerbentuk bila dari gtemapat terjadinya awan sampai ke permukaan tanah tgemperaturmya di bawah 0°C. bentguk dasar dsalju adalah heksagonal, akan gtgetapi hal ini pun tergantung dari suhu dan cepatnyga sublimasi (perubahan dari tiap uap menjadi padat).

11.  Hujan Siklon
          Hujan yang terjadi apabila udara yang mengandung uap air naik ke atas dibawa oleh angin sinklon lalu terjadi kondensasi akhirnya turun sebagai hujan. Hujan sinklon ini banyak terjadi di daerah depresi frontal.

12. Hujan Zenithal
          Hujan yang terjadi karena massa udara panas membungbung ke atas. Massa udara yang mengandung uap air tersebut setelah sampai pada lapisan atas, suhunya akan turun sehingga mengakibatkan kondensasi menjadi awan cumulus atau cumulonimbus. Jika penguapan tersebut bertambah besar, awan yang terbentuk juga semakin tinggi. Pada batas tertentu terjadilah turun hujan mendadak (dapat disertai dengan adanya petir). Proses hujan zenital banyak terjadi di daerah khatulistiwa dan pada musim panas di daerah sedang.


                [1] Melati, Ratna Rima dan Sujatmiko, Eko. Kamus Geografi. Surakarta: Aksarra Sinergi Media, 2012. hlm 116.

Sabtu, 19 Juli 2014

Lima Alat Pengukur Cuaca



Lima Alat Pengukur Cuaca

1.  Pengukuran Curah Hujan
         Curah Hujan dapat diukur menggunakan Ombrometer. Banyaknya hujan yang terjadi pada suatu tempat dapat diketahui dengan pengukuran curah hujan. Alat pengukuran curah hujan disebut Penakar Hujan atau Ombrometer. Di seluruh Indonesia terdapat sekitar 4.000 unit alat penakar hujan. Hasil pengukuran curah hujan dikirim ke Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) untuk dianalisis lebih lanjut.
         Alat pengukur hujan biasa berfungsi untuk mengukur jumlah hujan yang jatuh selama 24 jam per hari pada suatu gelas ukur. Di sisi lain, alat pencatat huja  pada kertas hujan otomatis mencatat jumlah curah hujan pada kertas pencatat setiap hari atau setiap minggu.
         Jumlah curah hujan tidak merata di seluruh Indonesia. curah hujan di Nusa Tenggara Timur lebih sedikit daripada curah hujan di Pulau Jawa. Curah hujan paling banyak terjadi selama bertiup angin musim barat. 


         Cara mengukur curah hujan dalam hitungan hari, bulan dan tahun adalah sebagai berikut.
a.    Curah hujan dalam sehari dihitung dari banyaknya air hujan yang tertampung di gelas ukur (mm).
b.    Curah hujan dalam sebulan dihitung dengan menjumlah curah hujan tiap hari selama sebulan.
c.    Curah dalam setahun dihitung dengan cara menjumlahkan curah hujan tiap-tiap bulan dalam setahun.

2.  Pengukuran Kelembaban Udara
         Kelembaban udara berkaitan dengan kandungan air dalam udara. Semakin banyak kandungan air di udara maka udara tersebut semakin lembab. Semakin banyak matahari menyinari, maka penguapan akan semakin tinggi. Kelembaban udara dapat diukur menggunakan hygrometer. Higrometer yang dapat mengukur kelembaban udara secara terus-menerus dan tercatat disebut higrograf.

         Kelembaban udara dibedakan atas dua jenis, yaitu sebagai berikut.
a.   Kelembaban Absolut, yaitu banyaknya uap air yang terdapat pada udara di suatu tempat. Kelembaban absolut dinyatakan dengan banyaknya gram uap air dalam 1 m3 udara.
b.    Kelembaban Relatif, yaitu perbandingan jumlah uap air dalam udara (kelembaban absolut) dengan jumlah uap air maksimum dalam udara tersebut dalam suhu yang sama dan dinyatakan dalam persen (%).

3.  Penentuan Arah angin dan Pengukuran Kecepatan Angin
     Angin dapat ditentukan arahnya menggunakan bendera angin dan kantong angin sedangkan kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer. Arah angin menunjukkan arah datangnya angin bukan kemana angin bergerak. Arah angin dipengaruhi oleh rotasi bumi. Oleh karena bumi berbentuk bulat, maka terjadi pembelokan arah angin. Di daerah khatulistiwa pembelokannya sama dengan 0 derajat. Semakin ke utara atau ke selatan pembelokannya semakin besar.




     Untuk pempermudah pemberian informasi, kecepatan angin diukur dengan menggunakan Skala Beaufort. Untuk lebih jelasnya, pengukuran kecepatan angin menurut Skala Beaufort dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Contoh Skala Beaufort dari 0 sampai 29 km/jam.
No.
Kecepatan Angin (km/jam)
Macam Angin
Indikasi di Darat
1
0 - 1.5
Tenang
Atap naik lurus
2
1.6 - 5
Udara Cerah
Asap mengapung
3
6.0 - 11
Bertiup Ringan
daun-daun bergoyang
4
11.0 - 19
Bertiup pelan
daun-daun bergoyang
5
20 - 29
Bertiup agak kencang
Cabang-cabang kecil bergerak, debu dan kertas bertebangan



4.  Pengukuran Tekanan Udara
     Tekanan Udara dapat diukur dengan menggunakan Barometer. Barometer otomatis yang dapat mencatat sendiri disebut barograph. Besarnya tekanan udara di permukaan bumi adalah 76 cm/Hg atau 760 mmHg atau 1 Atmosfer. Satuan yang digunakan untuk mengukur tekanan udara dalam meteorology yaitu milibar (mb) dengan konvensi: 1 atm = 1.013 mb.

     Orang pertama yang mengukur tekanan udara ialah Torri Celli (1643). Garis pada peta yang menghubungkan tempat-tempat dengan tekanan udara yang sama disebut isobar. Daerah yang banyak menerima panas matahari udaranya akan mengembang dan naik. Oleh karena itu, daerah tersebut bertekanan udara rendah. Di tempat lain terdapat tekanan udara tinggi sehingga terjadilah gerakan udara dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan udara rendah. Gerakan udara tersebut dinamakan Angin. 

5.  Pengukuran Temperatur Udara
     Temperatur atau suhu udara dapat diukur dengan menggunakan thermometer. Termometer sederhana yang dapat digunakan yaitu Termometer dinding dan thermometer maksimum-minimum. Termometer yang dapat mencatat sendiri secara otomatis disebut termograf.

            Catatan suhu pada thermometer dapat menunjukkan adanya perubahan suhu udara sepanjang hari. Hasil pengukuran suhu dalam satu hari kemudian dirata-ratakan sehingga akan didapatkan besaran suhu tertentu yang disebut suhu harian. Dari catatan suhu harian selama sebulan, ternyata besar suhu harian tidak sama. Suhu harian selama sebulam dirata-ratakan sehingga diperoleh suhu bulanan. Suhu bulanan pun berbeda-beda dalam setahun. Suhu udara di daratan rendah lebih tinggi daripada di pegunungan. Demikian pula suhu udara di daerah tropis lebih tinggi daripada di daerah lintang sedang dan daerah kutub.

Kamis, 08 Mei 2014

Pembangunan Desa dan Orientasi Pertumbuhan



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Desa

          Menurut Prof.Bintarto, desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografis, sosial ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat disuatu daerah dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sementara itu, Paul. H. Landis, seorang ahli geografi dari Amerika mendefinisikan desa sebagai suatu wilayah yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri: (1) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal, (2) memiliki pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, (3) cara berusaha bersifat agraris yang sangat dipengaruhi oleh keadaan alam seperti iklim dan kekayaan alam, serta (4) pekerjaan-pekerjaan yang bukan agraris merupakan pekerjaan pekerjaan sambilan. Sedangkan menurut UU No.5 tahun1979 pasal 1, desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, desa adalah unit pemerintahan yang secara langsung berada dibawah kecamatan dengan ciri-ciri:
a.       Mempunyai wilayah tertentu,
b.      Mempunyai system masyarakat sendiri,
c.       Mempunyai pemerintahan sendiri,
d.      Berada langsung dibawah kecamatan, dan
e.       Mempunyai kebiasaan-kebiasaan pergaulan sendiri.

Pola keruangan desa dibagi menjadi tiga sebagai berikut:
a.       Pola tersebar, biasanya terdapat pada desa yang terletak di daerah homogeny, tetapi dengan kesuburan tidak merata.
b.      Pola linier atau memanjang, biasanya terletak di sepanjang jalan, arus sungai, dan daerah pantai.
c.       Pola mengelompok, biasanya terletak disuatu daerah pertanian, beberapa rumah mengelompok.

Adapun tipe-tipe desa berdasarkan perkembangan masyarakat dibedakan sebagai berikut:
a.       Desa tradisional, yaitu tipe desa pada masyarakat suku terasing yang seluruh kehidupan masyarakatnya masing sangat bergantung kepada alam sekitarnya.
b.      Desa swadaya, yaitu tipe desa yang memiliki cirri-ciri: penduduknya jarang, masih terikat oleh kebiasaan-kebiasaan adat, hanya mempunyai lembaga-lembaga yang sederhana, tingkat pendidikan masyarakat rendah, produktifitas tanah rendah, kegiatan penduduk mempengaruhi keadaan alam,dan lain-lain.
c.       Desa swakarya, yaitu desa yang tingkat perkembangannya sudah lebih maju.
d.      Desa swasembada, yaitu desa yang telah maju, serta system perhubungan dan pengangkutan tersedia dengan baik.[1]

          Meskipun pembangun desa selalu menjadi fokus perhatian pemerintah sejak Indonesia mengawali kemerdekaannya, namun sosok strategi pembangunan desa seringkali mengalami perubahan. Hal ini memanivestasikan, bukan hanya proses pencaharian strategi pembangunan desa yang di pandang paling efektif untuk suatu kurun waktu tertentu, akan tetapi juga merefleksikan pengaruh strategi pembangunan nasional pada tingkat makro yang di anut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian dari waktu ke waktu kita mengenal varian strategi pembangunan desa. Disekitar tahun 1959 perhatian pemerintah terhadap pembangunan desa ini makin meningkat sebagai mana terbukti dengan didirikannya departemen yang membidangi pembangunan desa, yaitu Departemen transkopemada (transmigrasi, operasi, dan pembaangunan desa). Fungsi Biro Pembanguna Desa yang tadinya berada di Kantor Perdana Mentri kemudian dialihkan ke Departemen Transkopemada.

          Strategi yang di gunakan banyak di ilhami oleh konsep community development. Titik berat pembangunan desa adalah pada pembangunan masyarakatnya. Titik tekannya adalah pada pembentukan kader-kader pembangunan masyarakat desa yang diharapkan akan menopang tercapainya masyarakat desa yang berswasembada. Pembangunan desa pada waktu itu dilaksanakan berdasarkan Rencana Pembangunan lima Tahun 1956-1960 (undang-undang No.85 tahun 1958) yang dirumuskan oleh Biro Prancang Negara. Titik berat pembangunan desa adalah pada pembangunan masyarakatnya, dan karenanya, istilah yang digunakan adalah Pembangunan Masyarakat Desa (PMD).

          Dengan demikian pembangunan masyarakat desa dilakukan berdasarkan 3 azas, yaitu azas pembangunan integral, azas kekuatan sendiri, dan azas pemufakatan bersama:
          Pertama, Azas pembangunan integral ialah pembangunan yang seimbang dari semua segi-segi masyarakat desa (pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya), sehingga menjamin sutau perkebangan yang selaras dan yang tidak berat sebelah. Tetapi perlu diingat bahwa untuk masa permulaan titik berat terutama harus diletakkan daam pembangunan ekonomi.
          Kedua, yang dimaksud dengan azas kekuatan sendiri ialah bahwa tiap-tiap usaha pertama-tama harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan desa sendiri, dengan tidak menunggu-menunggu pemberian dari pemerintah.
          Ketiga, azas permufakatan bersama diartikan bahwa usaha pembangunan harus dilaksanakan dalam lapangan-lapangan yang benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh anggota-anggota masyarakat desa yang bersangkutan, sedang putusan untuk melaksanakan proyek itu bukannya berdasarkan atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama anggota masyarakat desa.
          Nampak jelas bahwa pembangunan desa pada waktu ini telah mengintegrasikan ide-ide kemandirian dalam pembangunan desa. Namun keterbatasan dana mengakibatkan pembangunan masyarakat dsa ini dilaksanakan bertahap, pada daerah kerja pembangunan masyarakat desa dengan mendasarkan pada kosep olie vlek strategy.

B.  Pembangunan Desa dan Orientasi Pertumbuhan

          Situasi ekonomi yang diwarisakan oleh pemerintah orde lama kepada pemerintah orde baru memberi “batas toleransi untuk berbuat kesalahan” (margin of error) yang begitu sempit. Kesalahan dalam kebijakan pembangunan nasional pada umumnya, dan pembangunan ekonomi pada khusunya, dapat menimbulkan akibat yang fatal bagi bangsa dan negara indonesia. Konsolidasi, rehabilitasi dan stabilisasi kehidupan ekonomi segera dilaksakan dimana pembangunan nasional selanjutnya akan bertumpu.
          Paradigma pembangunan nasional pada tingkat makro ini dengan sendirinya mewarnai strategi pembangunan desa. Target produksi padi sebesar 15,4 juta ton rata-rata per tahun (yang ditinjau dari kondisi pertanian pada waktu itu merupakan sasaran yang amat tinggi) segera menuntut wahana struktural untuk mencapainya.


          Kapitalisai sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan integrasi dengan sasaran internasional dilaksanakan melalui program bimbingan masal (bimas) yang pada hakekatnya merupakan top down bureaucratic approach yang berorientasi pada target, dengan menjadikan “proyek kerawang” yang diprakarsai IPB sebagai modelnya.
          Pembangunan pedesaan pada waktu itu didasakan pada modernization theory dan dilakukan melalui tranplantasi satuan produksi yang padat modal ke dalam sektor pertanian tradisional yang padat karya dengan harapan mendorong distribusi pendapatan melalui trickle-down effect dan pemanfaatan teknologi pertanian modern. (Hannig, 1986)
Pendekatan yang demikian memang menimbulkan ketergantungan desa pada pemerintah. Fungsi-fungsi yang tadinya secara tradisional merupakan fungsi desa, seperti pemeliharaan saluran tertier, pengelolaan lumbung desa, dan sebagainya, lambat laun dilaksanakan melalui intervensi pemerintah. Dengan Bimas yang disempurnakan yang diilhami oleh proyek rintisan fakultas pertanian UGM memang ciri top-down ini agak berkurang, dan partisipasi petani didorong melalui rangsangan-rangsangan harga.
          Sementara itu, strategi baru pembangunan desa mulai diperkenalkan. Strategi ini membedakan tiga tingkat perkembangan desa, yaitu desa tradisional (swadaya), desa transisional (swakarya) dan desa modern (swasembada) berdasarkan atas sejumlah tolak ukur yang berskala tiga (3), yaitu mata pencaharian (E), produktivitas desa (Y), adat-istiadat (A), pendidikan dan keterampilan (Pd), kelembagaan desa (L), swadaya gotong-royong (Gr) dan prasarana dan sarana (P). Desa yang mempunyai nilai 7-11 dimasukkan dalam kategori desa swadaya, nilai 12-16 desa swakarya dan nilai 17-21 desa swasembada. Tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan desa swadaya dan swakarya menjadi desa swasembada dan pada akhirnya menjadi desa pancasila. Untuk mempercepat proses transisi desa berdasar jenjang tipologi desa ini, diletakan suatu mekanisme yang dikenal dengan unit daerah kerja pembangunan. Secara formal UDKP ini didefinisikan sebagai suatu sistem untuk mempercepat tercapainya desa swasembada dengan mengembangkan desa-desa di wilayah kecamatan secara menyeluruh dan tekoordinasi, di mana pembinaannya manunggal dalam fungsi dan tanggung jawab camat sebagai kepala wilayah berdasarkan undang-undang no. 5 tahun 1974. Sistem tersebut merupakan rangkaian dari sub-sub sitem pembangunan yang saling berkaitan dan mencakup atribut-atribut sebagai berikut ( Dirjen Pembangunan Desa, 1977/1978, p.6):
-          Adanya perencanaan yang komprehensif dan integrative
-          Pelaksanaan pembangunan yang terkoordinir secara mantap
-          Perkembangan desa-desa berpedoman tata desa yang baik
-          Adanya usaha-usaha kaderisasi pembangunan desa
-          Peningkatan pembangunan prasarana dan pemenuhan sarana kerja
-          Adanya usaha-usaha untuk penerapan teknologi yang tepat di daerah tertentu.

          Selanjutnya dijelaskan bahwa UDKP adalah suatu sitem yang dapat dipergunakan oleh departemen maupun lembaga-lembaga non-departemen untuk lebih mengorientasikan unit pemerintahan kecamatan kepada aspek dan mekanisme operasional pembangunan sektoral didaerah dengan memanfaatkan jalur-jalur hirarki dan dekonsentrasi. Melalui mekanisme ini diharapkan keterpaduan perencanaan progrm pada tingkat kecamatan dibawah koordinasi camat.
          Dari adanya pensifatan di atas antara lain melalui kewenangan koordinatif camat, keharusan berpedoman pada tata desa, pemanfaatan jalur-jalur hirarki dan dekonsentrasi, kesemuanya mencerminkan pendekatan elitist berdasarkan sikap patronizing. Bottom-up planning yang dilaksakan melalui LKMD masih diwarnai sikap birokrasi lokal yang patronizing. Proses ini tidak banyak memberi peluang pada institusional learning yang mutlak diperlukan dalam mencapai kemandirian pembangunan desa.


[1] Dikutip dari K. Wardiyatmoko, 2004 “Geografi SMA jilid 2 Untuk kelas XI”