BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Mahasiswa Pendidikan IPS memepelajari Mata
Kuliah Sejarah Peradaban Islam dapat memiliki kompetensi sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Yakni memilki pengetahuan komprehensif tentang
keilmuan-keilmuan di dalam sejarah islam khususnya Perang Salib. Yang pasti
berhubungan dengan negara kita yaitu Indonesia dan kemampuan untuk menjelaskan
dan menguraikan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga geografi dari Perang
Salib.
Peperangan ini disebut dengan Perang Salib karena
ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai pemersatu untuk
menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan
bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Makdis dari tangan orang-orang
Islam.
Sejarah manusia menunjukkan betapa agama kerapkali dijadikan
alat untuk kepentingan tertentu. Ini juga halnya yang terjadi pada Perang Salib
(Crusade). Karena perang ini merupakan reaksi dunia Eropa terhadap dunia Islam
di Asia. Bagi orang Eropa sendiri perang ini dianggap sebagai kebangkitan
agama, bahkan merupakan gerakan kerohanian yang tinggi yang mana dunia Kristen
Barat menyadari dan menemukan identitas baru.
Kebencian Kristen terhadap umat Islam dimulai sejak
disebarkannya Islam ke daerah-daerah kekuasaan Bizantium, terutama pada abad
ke-8 Masehi, yakni ketika umat Islam melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh Kristen di Eropa. Mereka melihat bahwa kekuasaan Islam dapat
mengancam bahkan menghancurkan Konstantinopel sebagai ibukota kerajaan
Bizantium. Dendam dan kebencian yang disimpan umat Kristen mencetuskan Perang
Salib yang tujuannya adalah merebut kembali wilayah-wilayah yang sudah dikuasai
umat Islam.
Dalam pengkajian makalah ini penulis
bertujuan untuk menjadikan fenomena sejarah masa lalu menjadi iktibar
penting dengan menganalisis keberadaan Perang Salib itu sendiri, agar kiranya
tidak terulang di masa yang akan datang.
Dari aspek-aspek tersebut dapat kita dapat
menganalisis seperti apa yang sebenarnya terjadi pada Perang Salib. Sebuah
kebenaran harus dibeberkan baik secara teoritis bahakan secara fisiologis. Disini Perang Salib sangat berperan
dalam perkembangkan peradaban dunia khususnya
Peradaban dua agama besar yaitu Islam dan Kristen.
B.
Rumusan Masalah
Perang Salib sangatlah berlaku dalam kehidupan peradaban manusia di kawasan Timur Tengah pada saat itu. Perang Salib yang terjadi di daerah kawasan
Timur Tengah ini sangatlah penting untuk dibahas dalam pembelajaran Sejarah
Perdaban Islam. Berikut rumusan masalah terhadap makalah tentang Perang Salib
kali ini :
- Apa latar belakang penyebab terjadinya Perang Salib ?
- Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya Perang Salib ?
- Seperti apa terjadinya peristiwa Perang Salib ?
- Siapakah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam Perang Salib ?
- Dimana sajakah kota-kota yang penting dalam peristiwa Perang Salib ?
C.
Tujuan Masalah
Kaedah masalah yang dikaji pada pembahasan dalam laporan ini
menyangkut peristiwa Perang Salib yang mana berlandaskan pada tujuan semata,
yakni Perang Salib sebagai warisan utama yang harus didefinisikan sebagai
pelajaran yang amat penting di masa yang akan datang. Tujuan lainnya adalah
sebagai berikut:
- Menjelaskan latar belakang penyebab terjadinya Perang Salib.
- Menjelaskan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya Perang Salib.
- Mengetahui terjadinya peristiwa Perang Salib.
- Menjelaskan siapakah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam Perang Salib.
- Mengetahui dimana saja kota-kota yang penting dalam peristiwa Perang Salib.
BAB II
PERANG SALIB
A. Latar
Belakang Terjadinya Perang Salib
1. Timbulnya
Perang Salib
Perang Salib (The
Crusades War) adalah serangkaian perang agama selama hampir dua abad
sebagai reaksi Kristen Eropa terhadap Islam Asia. Perang ini terjadi karena
sejumlah kota dan tempat suci Kristen diduduki Islam sejak 632, seperti di
Suriah, Asia Kecil, Spanyol, dan Sicilia. Militer Kristen menggunakan salib
sebagai symbol yang menunjukkan bahwa perang ini suci dan bertujuan membebaskan
kota suci Baitul Maqdis (Yerusalem) dari orang Islam.[1]
Perang Salib awalnya
disebabkan adanya persaingan pengaruh antara islam dan Kristen. Kebencian itu
bertambah setelah dinasti Saljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 471 H
dari kekuasaan Dinasti Fathimiyah yang berdudukan di Mesir. Penguasa Saljuk
menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana.
Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka.
Oleh karena itu, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun
1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa agar melakukan
perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib karena
pasukan Kristen dalam berperang mengenakan tanda salib pada pakaian yang
dikenakan sebagai lambang.
Pidato yang mungkin
paling besar hasilnya dalam sejarah, ialah pidato Paus Urbanus II pada tanggal
26 November 1095 di Clermont (Prancis Selatan), orang-orang Kristen mendapat
suntikan untuk mengunjungi kuburan-kuburan suci dan merebutnya dari orang-orang
bukan Kristen serta menaklukan mereka. Seruan bersama “Tuhan menghendaki
yang sedemikian” menggelora di seluruh negeri dan memliki pengaruh
psikologis, baik di lapisan masyarakat bawah maupun atas. Di musim berikutnya
150.000 orang yang terdiri dari sebagian besar orang-orang Prancis dan Norman
memenuhi panggilan tersebut dan berkumpul di Konstantinopel. Perang Pertama pun
dimulai.
Tidak semua orang dari
kalangan kaum Kristen yang mengikuti Perang Salib didorong oleh keimanan
terhadap agama mereka. Beberapa berperang dikarenakan dorongan nafsu untuk
memperkaya diri. Para pedagang Pisa, Venesia, dan Genoa melihat kepentingan perdagangan
dalam peperangan. Sebagian besar rakyat Prancis, Lotharingen, Italia, dan
Sicilia yang perekonomian dan kehidupan sosialnya buruk ikut berperang dengan
tujuan lain, yakni untuk memperbaiki nasib sosial mereka dan bukan bertujuan
sebagai suatu pengorbanan terhadap agama mereka.
Perang Salib
berlangsung selama 200 tahun lamanya, dari mulai 1095-1293 M, dengan 8 kali
penyerbuan.[2]
Perang tersebut bertujuan untuk merebut kota suci Palestina dari kaum muslimin.
Peperangan ini memakan korban baik jiwa maupun harta dan kebudayaan yang tidak
sedikit jumlahnya. Perang tersebut juga merupakan peristiwa yang sangat
menyedihkan di pantai timur Laut Tengah, yang merusak hubungan antara dunia
timur dan dunia barat.
Wilayah yang paling
awal merasakan akibat Perang Salib pertama, tidaklah seragam. Wilayah-wilayah
ini mungkin sebagian besar adalah Sunni, tapi ada juga sejumlah kecil komunitas
Syiah. Seperti di Tripoli, Aleppo dan Damaskus. Di wilayah itu juga terdapat
komunitas-komunitas Kristen dan Yahudi.
Menurut sudut pandang
Islam pada saat itu Eropa Barat tidak terlalu menarik bagi kaum muslim abad
pertengahan. Dari perspektif mereka, budaya mereka sendiri jelas-jelas lebih
maju dan unggul. Kaum muslim abad pertengahan merasa unggul dan merendahkan
kaum muslim.[3]
2. Sebab-sebab
Perang Salib
Ada beberapa faktor
yang memicu terjadinya Perang Salib. Adapun yang menjadi faktor utama yang
menyebabkan terjadinya Perang Salib ada tiga hal, yaitu agama, politik, dan
sosial ekonomi.[4]
a. Faktor Agama
Sejak Dinasti Saljuk
merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fathimiyah pada tahun 1070 M, Pihak
Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana karena penguasa
Saljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang
hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang
berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang Saljuk
yang fanatic. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Saljuk sangat
berbeda dari pada penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu
sebelumnya.
b. Faktor
Politik
Kekalahan Bizantium
sejak 330 disebut Konstantinopel (Istambul) di Manzikart, wilayah Armenia, pada
1071 dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasaan Saljuk telah mendorong Kaisar
Alexius I Comnenus (kaisar Konstantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus
Urbanus II (1035-1099); yang menjadi Paus antara tahun 1088-1099 M, dalam
usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah pendudukan Dinasti Saljuk.
Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius
untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma dan harapan untuk dapat
mempersatukan gereja Yunani dan Roma. Pada waktu itu Paus memiliki kekuasaan
dan pengaruh yang sangat besar terhadap raja yang berada di bawah kekuasaannya.
Ia dapat menjatuhkan sanksi kepada raja yang membangkang terhadap perintah Paus
dengan mencopot pengakuannya sebagai raja.
Di lain pihak, kondisi
kekuasaan islam pada waktu itu sedang melemah sehingga orang Kristen di eropa
berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib. Dalam kurun waktu kurang
dari dua tahun, yang dimulai sejak 485H/1082M, terjadi rentetan pembersihan
semua pemimpin politik terkemuka dunia Islam dari Mekkah hingga ke timur.
Sebagai tahun penuh bencana, karena di tahun ini era lainnya turut berakhir
yaitu dengan wafatnya Khalifah Fatimiyah di Mesir, Al-Mustanshir.[5]
Ketika itu Dinasti
Saljuk di Asia kecil sedang mengalami perpecahan, dan diansti Fathimiyah di
mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah.
Situasi yang demikian mendorong para penguasa Kristen di eropa untuk merebut
satu persatu daerah kekuasaan Islam, seperti dinasti kecil di Edessa dan Baitul
Maqdis.
c. Faktor
Sosial Ekonomi
Para pedagang besar
yang berada di pantai Timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Venesia,
Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang
pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk
itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan
kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa
memperoleh kemenangan. Hal ini dimungkinkan karena jalur Eropa akan tersambung
dengan rute perdagangan di Timur melalui jalur strategi tersebut.
Di samping itu,
stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok,
yaitu kaum gereja, kaum bangsawan serta ksatria, dan rakyat jelata. Kehidupan
kelompok terakhir ini sangat tertindas dan terhina. Mereka harus tunduk kepada
tuan tanah yang sering bertindak semena-mena dan dibebani berbagai pihak serta
sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, ketika mereka dimobilisasi oleh
pihak-pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji
akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik apabila perang dapat
dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan melibatkan diri
dalam perang tersebut.
Selain stratifikasi
sosial masyarakat Eropa yang memberlakukan diskriminasi terhadap rakyat jelata,
pada saat itu berlaku hukum waris yang menetapkan bahwa hanya anak tertua yang
berhak menerima harta warisan. Apabila anak tertua meninggal, harta warisan
harus diserahkan kepada gereja. Akibatnya anak-anak yang miskin sebagai
konsekuensi hukum beramai-ramai pula mengikuti seruan mobilisasi umum tersebut
dengan harapan yang sama, yakni untuk mendapatkan perbaikan ekonomi.[6]
B. Peristiwa
Perang Salib
Perang Salib yang berlangsung dalam kurun
waktu hampir dua abad, yakini antara tahun 1095-1291 M, terjadi dengan
serangkaian peperangan.
Para sejarahwan berbeda
pendapat dalam menetapkan periodisasi Perang Salib. Prof. Ahmad Syalabi dalam At-Tarikh
Al-Islami wa Al-Hadharat Al-Islamiyyah misalnya, membagi periodisasi Perang
Salib itu atas tujuh periode. Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A., bahwa
Perang Salib dapat dibagi dalam 3 periode.[7]
Secara garis besar
menurut hemat penulis, pada umumnya Perang Salib dapat dikelompokkan ke dalam
tiga periode sebagaimana disebutkan oleh Philip K. Hitti maupun Badri Yatim.[8]
1. Periode
Pertama
Jalinan kerja sama antara Kaisar Alexius I
dan Paus II berhasil membangkitkan semangat umat Kristen, terutama akibat
pidato Paus Urbanus II pada Konsili Clermont (26 November 1095 M).[9]
Menurut penilaian Philip K. Hitti, pidato ini kemungkinan nerupakan pidato yang
paling berkesan sepanjang sejarah yang telah dibuat Paus. Pidato ini menggema
ke seluruh penjuru Eropa yang membangkitkan seluruh negara Kristen
mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Gerakan ini
merupakan gerakan spontanitas yang diikuti berbagai kalangan masyarakat.
Sepanjang jalan menuju
kota Konstantinopel, mereka membuat keonaran, melakukan perampokan, dan bahkan
terjadi bentrokan dengan penduduk Hongaria dan Bizantium. Akhirnya dengan mudah
pasukan Salib dapat dikalahkan pasukan Dinasti Saljuk.
Pasukan salib angkatan
berikutnya dipimpin oleh Godfrey di Bulion. Gerakan ini lebih merupakan
ekspedisi militer yang terorganisir rapi.
Pada musim semi tahun
1095 M, 150.000 orang eropa, sebagian besar bangsa Prancis dan Norman berngkat
menuju Konstatinopel, kemudian ke Palestina. Tentara salib yang dipimpin oleh
Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18
Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea, dan tahun 1098 menguasai Edessa.
Di sini mereka mendirikan Kerajaan Latin I dengan Baldwin sebagai rajanya. Pada
tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan Kerajaan Latin
II di timur, Bohenmond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki
Baitul Magdis atau Yerussalem (15 Juli 1099) dan mendirikan kerajaan Latin III
dengan Godfrey sebagai rajanya. Setelah penaklukan Baitul Maqdis, tentara Salib
melanjutkan ekspansinya, mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M),
dan Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan Kerajaan Latn IV, dengan
Raymond sebagai rajanya.
Selama terjadi
peperangan tersebut, kesultanan Saljuk sedang mengalami kemunduran.
Perselisihan antara sultan-sultan Saljuk memudahkan pasukan salib merebut wilayah kekuasaan Islam. Dalam kondisi
seperti ini muncullah seorang Sultan Damaskus yang bernama Muhammad yang
berusaha mengabaikan konflik internal dan menggalang kesatuan dan kekuatan
Saljuk untuk mengusir pasukan Salib. Baldwin penguasa Yerusalem pengganti
Goldfrey, dapat dikalahkan oleh pasukan Saljuk ketika ia sedang menyerang kota
Damaskus. Baldwin segera dapat merebut wilayah-wilayah yang lepas setelah
datang bantuan pasukan dari Eropa.
Sepeninggal Sultan
Mahmud pada tahun 1127M, muncullah seorang perwira muslim yang cakap dan gagah
berani. Ia adalah Imaduddin Zanki seorang pahlawan Islam termasyur dari Mousul.
Ia telah mencurahkan kemampuannya dalam upaya mengembalikan kekuatan
pemerintahan Saljuk dan menyusun kekuatan militer, sebelum ia mengabdikan diri
di kancah peperangan salib.
Mayarakat Aleppo dan
Hammah yang menderita di bawah kekuasaan pasukan salib berhasil diselamatkan
oleh Imaduddin Zanki. Tahun berikutnya ia juga berhasil mengusir pasukan salib
dari Al-Asyarib. Satu persatu Zanki meraih kemenangan atas pasukan salib,
hingga ia merebut wilayah Eddesa pada tahun 539H/1144 M.
Penaklukan Eddesa
merupakan keberhasilan Zanki yang terhebat. Dalam penaklukan Eddesa Zanki tidak
berlaku kejam terhadap penduduk sebagaimana tindakan paukan salib. Selama ini
Zanki adalah seorang patriot sejati yang telah berjuang demi membela tanah
airnya. Baginya, “Pelana kuda lebih nyaman dan lebih dicintainya daripada
kasur sutra, dan juga suara hiruk pikuk di medan peperangan terdengar lebih
merdu dan lebih dicintainya daripada lantunan musik”.[10]
Pada tahun 1046 M, Dalam
perjalanan penaklukan Kalat Jabir, Zanki wafat terbunuh oleh tentaranya sendiri.[11]
2. Periode
Kedua
Wafatnya Imaduddin
Zanki, membangkitkan anaknya, Nuruddin Mahmud Zanki untuk melanjutkan tugas
sang ayah, meneruskan perjuangan membela agama, melakukan jihad. Pada saat itu
umat Kristen Eddesa dengan bantuan bantuan paukan Prancis berhasil mengalahkan
paukan muslim yang bertugas di kota ini dan sekaligus membantainya. Nuruddin
segera mengerahkan pasukannya ke Eddesa dan para pengkhianat dihukum dengan
mata pedang, sedangkan bangsa Armenia yang bersukutu dengan pasukan salib
diusir keluar negeri Eddesa.
Nuruddin Zanki berhasil merebut kembali
Antionchea pada tahun 1149 M, dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat
direbut kembali. Ia segera menyambut baik permohonan masyarakat Damaskus dalam
perjuangan melawan penguasa Damaskus yang menindas. Keberhasilan Nuruddin
menaklukan kota Damaskus membuat sang khalifah berkenan memberinya gelar
kehormatan Al-Malik Al-Adil.
Jatuhnya Edessa ini
menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius
III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII
dan Raja Jerman Codrad II. Keduanya mempimpin pasukan mereka dihadang oleh
Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Codrad
II sendiri melarikan diri pulang ke negrinya.
Ketika itu Mesir sedang
dilanda perselisihan intern Dinasti Fatimiyah. Shawar, seorang perdana menteri
Fatimiyah, dilepaskan dari jabatannya oleh gerakan rahasia. Nuruddin
mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan komandan Syirkuh. Namun ternyata
Shawar justru memerangi Syirkuh berkat bantuan pasukan Prancis sehingga
berhasil menduduki Mesir.
Pada tahun 563H/ 1167M
Syirkuh berusaha datang kembali ke Mesir, Shawar pun segera meminta bantuan
raja Yerussalem bernama Amauri. Gabungan pasukan Shawar dan Amauri ditakulan
secara mutlak oleh pasukan Syirkuh dalam peperangan di Balbain. Masyarakat
Mesir dan Khalifah menyambut hangat kedatanagn Syirkuh dan akhirnya menjadi
perdana mentri. Kedudukannnya digantikan oleh kemenakannya yang bernama
Shalahuddin. Setelah wafatnya Nuruddin pada tahun 1174M Ketika itu kondisi
politik Dinasti Fathimiyah semakin melemah. Shalahuddin Al-Ayyubi segera
memulihkan otoritas Khalifah Abbasiyah di Mesir, dan setelah Dinasti Fathimiyah
hancur, Shalahuddin menjadi penguasa Mesir 570-590H (1174-1193M).[12]
Sultan Malik Syah yang
menggantikan Nuruddin adalah raja yang masih berusia belia, sehingga
amir-amirnya saling berebut pengaruh yang menyebabkan timbulnya krisis
internal. Kondisi demikian ini memudahkan bagi pasukan salib untuk menyerang
Damaskus dan menundukkannya. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin
Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175
M.
Kekuatan Malik Syah
yang meminta bantuan pasukan salib di Aleppo pun dikalahkan oleh Shalahuddin.
Semenjak kemengan melawan pasukan salib ini terbukalah jalan mendatang hingga
ia berhasil mencapai kedudukan sultan. Semenjak tahun 578H/1182M, kesultanan
Saljuk dipusat mengakui kedudukan Shalahuddin sebagai sultan atas seluruh
wilayah Asia Barat.
Baldwin III yang
menggantikan Amaury ayahnya, mengkhianati perjanjian genjatan senjata anatar
muslim dengan pasukan salib Kristen. Pada tahun 582H/1182M penguasa wilayah
Kara menyerbu kabilah muslim yang sedang melintasi benteng pertahannya.
Shalahuddin segera mengerahkan pasukannya untuk mengepung Kara dan selanjutnya
menuju Galilei untuk menghadapi pasukan Prancis. Pada tanggal 3 Juli 1187M
kedua pasukan bertempur di daerah Hittin, dimana pihak pasukan Kristen
mengalami kekalahan. Ribuan pasukan mereka terbunuh, sedangkan tokoh-tokoh
militer mereka ditawan. Sultan Shalahuddin selanjutnya merebut benteng
pertahanan Tiberia, kota Acre, Naplus , Jericho, Ramla, Caesarea, Jaffra,
Beirut, dan sejumlah kota lainnya.
Selanjutnya Shalahuddin
memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem. Setelah melakukan
pengepungan pasukan salib kehilangan semngat tempurnya dan memohon kemurahan
hati sang Sultan. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut
kembali Yerusalem pada 2 Oktober 1187 M. Dengan demikian, kerajaan Latin yang
didirikan tentara Salib di Yerusalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Bangsa Romawi dan
Syiria Kristen diberi hidup dan diizinkan tinggal di Yerusalem dengan hak-hak
warga negara secara penuh. Bangsa Prancis dan bangsa-bangsa Latin diberi hak
meninggalkan Palestina dengan membayar uang tebusan 10 dinar untuk setiap orang
dewasa, dan 1 dinar untuk setiap anak-anak. Namun, diterapkan secara kaku.
Shalahuddin berkenan melepaskan ribuan tawanan tanpa tebusan sepeser pun,
bahkan ia mengeluarkan hartanya sendiri untuk membantu menebus sejumlah
tawanan.
Pada sisi lainnya
Shalahuddin juga membina ikatan persaudaraan antara warga Kristen dengan warga
muslim dengan memberikan hak-hak orang Kristen sama persisi dengan hak-hak
warga msulim di Yerusalem. Sikap Shalahuddin ini mebuat umat Kristen di
negeri-negeri lain ingin sekali tinggal di wilayah kekuasaan sang sultan ini.
perlakuan baik pasukan muslim terhadap umat Kristen ini sungguh tidak ada
bandingannya sepanjang sejarah dunia. Padahal sebelumnya pasukan salib Kristen
telah berbuat kejam, menyiksa, dan menyakiti warga muslim.[13]
Jatuhnya Yerusalem ke
tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka menyusun
rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja
Jerman, Richard The Lion Hart raja Inggris, dan Philip Augustus raja Pramcis. Pada
tanggal 14 september 1189M Shalahuddin terdesak pasukan salib, namun
kemenkaanya yang bernama Taqiyuddin berhasil mengusir pasukan salib dari
posisinya dan mengembalikan hubungan dengan Acre. Kota Acre kembali terkepung
selama hampir dua tahun. Segala upaya pertahanan pasukan muslim semakin tidak membawa
hasil, bahkan mereka merasa frustasi ketika Richard dan Philip August tiba
dengan kekuatan pasukan salib yang maha dahsyat.
Sultan Shalahuddin
merasa kepayahan menghadapi peperangan ini. Sementara itu pasukan muslim
dilanda wabah penyakit dan kelaparan. Masytub seorang komandan Shalahuddin
akhirnya mengajukan tawaran damai dengan kesedian atas beberapa persyaratan
sebagaimana yang telah diberikan kepada pasukan Kristen sewaktu penaklukan
Yerussalem dahulu. Namun, sang raja yang tidak mengenal balas budi ini sedikit
pun tidak memberi belas kasih terhadap umat msulim. Ia membantai pasukan muslim
secara kejam.
Meskipun pasukan salib
Kristen mendapat tantangan berat dari Shalahuddin akan tetapi mereka berhasil
merebut Akka/Ascalon yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin, tetapi
mereka tidak berhasil berhasil merebut Palestina. Mereka tidak berdaya
mengepung kota ini, Richard mengirimkan delegasi perdamaian menghadap
Shalahuddin. Pada tanggal 2 November 1192M, dibuat perjanjian antara tentara
salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh Ar-Ramlah. Dalam
perjanjian itu disebutkan bahwa antar pihak muslim dan pihak pasukan salib
menyatakan bahwa wilayah kedua belah pihak saling tidak menyerang dan menjamin
keamanan masing-masing, dan bahwa warga negara kedua belah pihak dapat saling
keluar masuk ke wilayah lainnya tanpa gangguan apa pun. Jadi perjanjian damai
yang menghasilkan kesepakatan di atas mengakhiri Perang Salib ketiga.
menyatakan orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis
tidak akan diganggu.
Tidak lama kemudian,
setelah perjanjian itu disepakati, Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi pahlawan Perang
Salib itu meninggal dunia pada Februari 1193 M.[14]
3. Periode
Ketiga
Dua tahun setelah
meninggalnya Shalahuddin Perang Salib berkobar juga atas inisiatif Paus Celesti
III. Namun, sesungguhnya peperangan antara pasukan muslim dengan pasukan
Kristen telah berakhir sehingga peperangan berikutnya tidak banyak dikenal.
Pada tahun 1195M
pasukan salib menundukkan Sicilia, kemudian terjadi beberapa kali penyerangan
terhadap Syria. Pasukan Kristen ini mendarat di pantai Phoenecia dan menduduki
Beirut. Anak Shalahuddin yang bernama Al-Adil segera menghalau pasukan salib.
Ia selanjutnya menyerang kota perlindungan pasukan salib. Mereka kemudian
mencari perlindungan ke Tibinim, lantaran makin kuatnya tekanan dari pasukan
muslim, pasukan salib akhirnya menempuh inisiatif damai. Sebuah perundingan
menghasilkan kesepakatan pada tahun 1198M, bahwa peperangan ini harus
dihentikan selama tiga tahun.
Belum genap tiga tahun,
Kaisar Innocent III menyatakan secara tegas berkobarnya Perang Salib kembali
setelah berhasil menyusun kekuatan militer. Jendral Richard di Inggris menolak
keras untuk bergabung dalam pasukan salib ini, sedang mayoritas penguasa Eropa
lainnya menyambut gembira seruan perang tersebut. Pada kesempatan ini pasukan
salib yang bergerak menuju Syiria tiba-tiba membelokkan gerakannya menuju
Konstantinopel. Mereka membantai tibuan bangsa Romawi baik laki-laki maupun
perempuan.
Pada tahun 613H/1216M,
Innocent III juga mengorbankan propaganda perang salib kembali. Namun, akibat
serangan pasukan muslim yang terus-menerus mereka menjadi terdesak dan terpaksa
menempuh jalan damai dengan syarat bahwa pasukan salib harus segera
meninggalkan kota Dimyat.
Untuk mengatasi konflik
politik internal, Sultan Kamil mengadakan perundingan kerjasama dengan seorang
jendral Jerman yang bernama Frederick. Frederick bersedia membantunya
menghadapi musuh-musuhnya dari kalangan Bani Ayyub sendiri, sehingga Frederick
nyaris menduduki dan sekaligus berkuasa di Yerusalem.[15]
Tentara salib pada periode ketiga ini
dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir
terlebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan mendapat bantuan dari orang-orang
Kristen Qibti. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki kota Dimyat. Raja
Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu Al-Malikul Kamil membuat perjanjian
dengan Frederick. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut
kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1247 M, di masa pemerintahan penguasa
Mesir selanjutnya yaitu Al-Malikush Shalih. Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti
Mamalik pengganti Dinasti Ayyubiyah, pimpinan kaum muslimin dipegang oleh
Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka/Ascalon dapat direbut kembali
oleh kaum muslimin pada tahun 1291 M.
Dalam peride ini telah
terukir dalam sejarah munculnya pahlawan wanita Islam yang terkenal gagah
berani, yaitu Syajar Ad-Dur. Ia berhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX
dari Prancis dan sekaligus menangkap raja tersebut. Bukan hanya itu, sejarah
mencatat bahwa pahlawan wanita gagah perkasa ini telah mampu menunjukkan sikap
kebesaran Islam dengan membebaskan dan mengizinkan Raja Louis IX kembali ke
negrinya, Prancis.[16]
Meskipun menderita kekalahan
dalam Perang Salib, pihak Kristen Eropa telah mendapatkan hikmah yang btidak
ternilai karena mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban islam
yang sudah demikian maju. Bahkan, kebudayaan dan Peradaban yang mereka peroleh
dari Timur-Islam menyebabkan lahirnya renaisans di Barat. Mereka membawa
kebudayaan dati Timur-Islam ke Barat terutama dalam bidang militer, seni,
perindustrian, perdagangan, pertanian, astronomi, kesehatan, dan kepribadian.
Demikianlah Perang
Salib yang terjadi di Timur. Perang ini tidak hanya berhenti di Barat, Di
Spanyol sampai akhirnya umat Islam terusir dari Spanyol Eropa. Akan tetapi
meskipun demikian, mereka tidak dapat merebut apan pun dari tangan kaum
muslimin, dan tidak dapat menurunkan bendera Islam dari Palestina.
Walaupun umat islam
telah berhasil mempertahankan daerah-daerah dari tentara salib, namun kerugian
akibt perang itu sangat banyak. Kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik
kaum muslimin menjadi lemah.[17]
C. Tokoh-Tokoh
Perang Salib
1.
Imaduddin Zanki
Zanki menjadi atabeg Mosul ditahun
1127, dan Aleppo ditahun 1128, mempersatukan dua kota tersebut dalam satu
pemerintahan, dan secara formal dinobatkan oleh Sultan Mahmud II dari
kesultanan Saljuk Agung.
Imaduddin Zanki adalah seorang pemimpin yang semangat dan kemauan tinggi. Belia
bukan pula seorang yang kaya yang rakus akan sesuatu. Tidak pernah menggunakan
sesuatu untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri. imaduddin Zanky juga
seseorang yang memiliki cita-cita tinggi. Beliau berkeinginan untuk membuat
kerajaan Islam yang besar dan kuat untuk menghadapi kaum salib, menjauhkan
bahaya dari kaum muslimin dan juga mengembalikan kerajaan Islam.
Upaya Imaduddin Zanky untuk
memperkuat negrinyadi mulai dari dalam negri. Berbagai usaha dilakukan untuk
menjamin keamanan dan keadilan masyarakatnya. Dan dengan bekal demikian di
lakukan upaya-upaya keluar untuk memperluas wilayahnya. Dengan cepat upaya ini
berhasil. Dalam waktu relkatif singkat, kerajaan Zanky gtelah meliputi seluruh
dataran rendah dan tinggi Furat, Himsh Khamat, Aleppo, Ba’labakka, dan Ma’arrat
Nu’man.[18]
2.
Nuruddin Mahmud Zanky.
Sepeninggal Imaduddin Zanky, kerajaan dibagi dua. Nyaitu bagian
timur dibawah kekuasaan Saifuddiun Ghazi dengan ibu kotanya di Mussi. Bagian
Barat diperuntukkan untuk Nuruddin Mahmud dengan ibu kotanya Halab. Kedua
anak-anak ini adalah anak Imaduddin Zanky.
Ia bukan hanya seorang prajurit yang
cakap, ia juga sekaligus sebagai ahli hukum dan seorang ilmuan. Wilayah
kekuasaan Nuruddin Mahmud langsung berbatasan dengan kerajaan-kerajaan
Salibiyah. Inilah yang membuat Nuruddin Mahmud untuk selalu berjuang dan
bertahan dari serangan atau serangan kaum salib. Hampir
seluruh hidupnya diperuntukkan untuk perjuangan me;lawan dan menghadapi kaum
salib. Dan kegigihan inilah yang membuatnya salah satu pahlawan besar islam.
3.
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi
Shalahuddin Al-Ayyubi atau tepatnya
Salahuddin Yusuf bin Ayyub, atau Salah ad-Din atau Saladin (menurut lafal orang
barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam tharikh (sejarah) Islam.
Ia mendapat gelar al-Malik al-Nashir.[19] Saladin
adalah seorang jendral dan pejuang muslim dari bangsa Kurdi di Takrit (daerah
utara irak). Di lahirkan di Takrit pada tahun 432H/1137M. Ayahnya adalah
pejabat kepercayaan pada masa Imaduddin Zanki dan masa Nuruddin. Beliau
berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir, Suriah, Yaman, dan Irak pada
tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali
Yerusalem pada 2 Oktober 1187 M. Shalahuddin terkenal di dunia muslim dan
Kristen karena kepimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria.
Nuruddin Zanky pernah memerangi saladin. Nuruddin takut
jangan-jangan kekuasaan Shalahudin akan menghilangkan kekuasaannya. Tetapi
serangan itu tidak berhasil. Nuruddin berhasil dikalahkan dan perjanjian
dikukuhkan.Nuruddin berkuasa atas derah Syam dan sekitarnya, seperti semula
sementara daerah lain berada di bawah kekuasaan orang lain.
Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga
adalah seorang ulama.Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan
dalam kitab hadits Abu Dawud, ia adalah orang yang berhasil menaklukan
Yerussalem. Sesudah perjanjian disepakayti, Shalahudin meninggalkan Aleppo
menuju ke Hamah. Dikota itulah Shalahudin mendapatkan gelar “Sultan”
oleh Khalkifah Abbasiyah yang berkuasa kala itu.[20]
4.
Raja Raymon
Dalah Raja Tripoli yang menikah dengan seorang Ratu Tibriah. Ketika
Raja Tibriyah meninggal karena sakit lepra, kerajaan diwariskan kepada anak
laki-laki saudara perempuannya yang lain. Anak tertsebut masih kecil. Karena
Raymon adalah seorang Raja pula, maka anak tersebut dipercayakan
pemeliharaannya kepada Raymon suami Istri.
Raymon yang merasa menjadi wali anak tersebut mulailah memegang
kekuasaan. Dia berkuasa secara rakus. Raymon memerintah dengan menurutkan kata
hatinya sendiri. merasakan nikmatnya berkuasa, Raymon memimpin untuk terus
menguasai pikiran demikian menumbuhkan ide lain. Yaitu menghabisi nyawa anak
itu. Jika anak itu mati maka ibunyalah yang akan menggantikan. Dan yang dmikian
akan mempermudah Raymon untuk mengambil alih kekuasaan. Tapi impian manis itu
kabur karena satu hal.
Yaitu si anak tidak mati. Ibunyapun tertarik kepada seorang Eropa
baru datang ke kerajaan mereka bernama Jaidie Louziyrian. Bahkan mereka
kemudian menikah. Musnahlah impian Raymon untuk menguasai kekuasaan secara
sepenuhnya. Karena dengan demikian, secara otomatis kekuasaan berpindah
ketangan ayah dan ibu anak itu.
5.
Raja Richard “The Lion Heart” dari Inggris
Richard I (6 September 1157 – 6
April 1199) adalah raja Inggris antara tahun 1189 sampai 1199.Ia sering juga
dijuluki Richard si Hati Singa (Inggris: Lion heart, Perancis: Cœur de Lion)
karena keberaniannya. Ia adalah anak ketiga dari Henry II dari Inggris, dan
merebut tahta Inggris dari ayahnya dengan bekerja sama dengan Phillip II dari
Perancis pada tahun 1189. Richard I terkenal sebagai salah satu tokoh dalam
Perang Salib, di mana salah satu keberhasilannya dalam perang tersebut adalah
merebut Siprus untuk mendukung pasukan Perang Salib.setelah sampai di Acre
Richard kemudian merebut Kota Acre pada tahun 1191 dan kemudian Richard mulai
mengarahkan pasukannya untuk menyerbu Yerusalem. Pasukan Richard berjalan
melalui garis pantai antara kota Acre dan Jaffa, ketika perjalanan menuju Kota
Jaffa pasukan Richard dihadang pasukan Saladin dan terjadilah pertempuran di
dekat kota Arsuf yang dimenangkan Richard dan memaksa Saladin mundur ke
Yerusalem untuk bertahan. Richard akhirnya memasuki kota jaffa tanpa perlawanan
karena kota sudah dibakar oleh Saladin.
Raja Richard sebenarnya masuk kedalam lima kapal yang berangkat dan
jatuh ketangan Islam. Tetapi raja ini selamat karena dia singgah lebih dahulu
untuk menaklukan dan m,enguasai Cyprus. Cyprus dapat direbut dari tangan
Romawi. Dengan dua puluh kapal dengan banyak harta benda, Raja Richard
melanjutkan perjalanan manuju ‘Aka. Perjalanan armada ini selamat, bebas dari
serangan kapal Islam sampai ke ‘Aka. Kedatangan pasukan Inggris ini mebawa
semangat baru. Pasukan Eropa yang mengepung ‘Aka semakin bersemangat untuk
segera menundukkan kaum muslimin. Mengapa demikian?.. Ya, sebab Raja Richard di
masa itu sudah cukup terkenal. Seorang yang penuh keberanian, lihai dalam tipu
mjuslihat, cerdik, tabah dan terkenal sabar. Pokoknya dalam masa itu balum ada
yang bisa menandinginya.[21]
D. Kota-Kota
Penting dalam Perang Salib
1. Baitul
Maqdis atau Yerussalem
Adalah
kota di Palestina yang merupakan kota suci bagi tiga agama yaitu Islam,
Kristen, dan Yahudi. Pada Perang Salib kota ini adalah sebuah kota yang menjadi
rebutan bagi orang Kristen dan Islam. Kota ini merupakan akar permasalahan dari
terciptanya Perang Salib itu sendiri. Pada tahun 1187, Yerussalem direbut oleh
Saladin dari pasukan salib dan masuk kedalam wilayah Dinasti Ayyubiyah.
Saat ini Yerussalem
menjadi bagian dari Israel secara de facto, kota ini juga di klaim oleh Israel
sebagai ibukotanya. Oleh orang Palestina juga dianggap bahwa kota ini menjadi
Ibukota negaranya. Sampai sekarang kota ini masih menjadi perebutan yang masih
tiada akhir.
2. Antiochea
Antiochea atau Antioch
atau Antiokhia adalah sebuah kota yang terletak di tenggara wilayah negara
Turki dan sebelah utara negara Suriah. Kota ini menjadi penting bagi umat
Kristen karena di jadikan pusat ajaran agama Kristen. Kota ini dikepung oleh pasukan muslim cukup
lama dan di anggap lebih penting dari Edessa.
3. Edessa
Kerajaan Edessa yang
terletak di wilayah Turki sekarang ini dikepung oleh pasukan Zanki dan berhasil
dihancurkan pada tahun 1144. Berita jatuhnya Edessa membuat di mulainya Perang
salib kedua yang dipimpin oleh Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman.
Tapi penyerangan dari pasukan salib ini gagal dan Edessa tidak pernah bangkit
lagi.
4. Akka atau
Askalon
Akka atau Askalon atau Ashkelon
adalah sebuah kota ini terletak pada kawasan Palestina di pesisir Laut Tengah. Di
akhir perang salib kota ini akhirnya dapat di rebut pasukan salib oleh
bantuan Raja Richard dari Inggris.
[3] Carole Hillenbrand, Perang
Salib Sudut Pandang Islam. Jakarta: PT Serambi ilmu Semesta, 2005. Hlm 318
[4] Prof. Dr. Azyumardi,
M.A., Ensiklopedia Islam Jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Hlm 154-155
[5] Carole Hillenbrand, Perang
Salib Sudut Pandang Islam. Jakarta: PT Serambi ilmu Semesta, 2005. Hlm 43
[13]Prof. K. Ali, Sejarah Islam Pramodern,
Jakarta: Srigunting. Hlm 283
[17]Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: Amzah, 2010. Hlm 240-241
[18] DR. Mahmud Syalabi,
Shalahuddin al-Ayyubi “pahlawan perang salib”. CV pustaka mantiq, jakarta: desember 1989. Hlm 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar