Kamis, 16 Januari 2014

Peristiwa Perang Salib




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Mahasiswa Pendidikan IPS memepelajari Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam dapat memiliki kompetensi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Yakni memilki pengetahuan komprehensif tentang keilmuan-keilmuan di dalam sejarah islam khususnya Perang Salib. Yang pasti berhubungan dengan negara kita yaitu Indonesia dan kemampuan untuk menjelaskan dan menguraikan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga geografi dari Perang Salib.
Peperangan ini disebut dengan  Perang Salib karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Makdis dari tangan orang-orang Islam.
Sejarah manusia menunjukkan betapa agama kerapkali dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Ini juga halnya yang terjadi pada Perang Salib (Crusade). Karena perang ini merupakan reaksi dunia Eropa terhadap dunia Islam di Asia. Bagi orang Eropa sendiri perang ini dianggap sebagai kebangkitan agama, bahkan merupakan gerakan kerohanian yang tinggi yang mana dunia Kristen Barat menyadari dan menemukan identitas baru.
 Kebencian Kristen terhadap umat Islam dimulai sejak disebarkannya Islam ke daerah-daerah kekuasaan Bizantium, terutama pada abad ke-8 Masehi, yakni ketika umat Islam melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Kristen di Eropa. Mereka melihat bahwa kekuasaan Islam dapat mengancam bahkan menghancurkan Konstantinopel sebagai ibukota kerajaan Bizantium. Dendam dan kebencian yang disimpan umat Kristen mencetuskan Perang Salib yang tujuannya adalah merebut kembali wilayah-wilayah yang sudah dikuasai umat Islam.
            Dalam pengkajian makalah ini penulis bertujuan untuk menjadikan fenomena sejarah masa lalu menjadi iktibar penting dengan menganalisis keberadaan Perang Salib itu sendiri, agar kiranya tidak terulang di masa yang akan datang.
            Dari aspek-aspek tersebut dapat kita dapat menganalisis seperti apa yang sebenarnya terjadi pada Perang Salib. Sebuah kebenaran harus dibeberkan baik secara teoritis bahakan secara fisiologis. Disini Perang Salib sangat berperan dalam perkembangkan peradaban dunia khususnya Peradaban dua agama besar yaitu Islam dan Kristen.
B.     Rumusan Masalah
            Perang Salib sangatlah berlaku dalam kehidupan peradaban manusia di kawasan Timur Tengah pada saat itu. Perang Salib yang terjadi di daerah kawasan Timur Tengah ini sangatlah penting untuk dibahas dalam pembelajaran Sejarah Perdaban Islam. Berikut rumusan masalah terhadap makalah tentang Perang Salib kali ini :
  1. Apa latar belakang penyebab terjadinya Perang Salib ?
  2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya Perang Salib ?
  3. Seperti apa terjadinya peristiwa Perang Salib ?
  4. Siapakah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam Perang Salib ?
  5. Dimana sajakah kota-kota yang penting dalam peristiwa Perang Salib ?
C.    Tujuan Masalah
            Kaedah masalah yang dikaji pada pembahasan dalam laporan ini menyangkut peristiwa Perang Salib yang mana berlandaskan pada tujuan semata, yakni Perang Salib sebagai warisan utama yang harus didefinisikan sebagai pelajaran yang amat penting di masa yang akan datang. Tujuan lainnya adalah sebagai berikut:
  1. Menjelaskan latar belakang penyebab terjadinya Perang Salib.
  2. Menjelaskan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya Perang Salib.
  3. Mengetahui terjadinya peristiwa Perang Salib.
  4. Menjelaskan siapakah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam Perang Salib.
  5. Mengetahui dimana saja kota-kota yang penting dalam peristiwa Perang Salib.


BAB II
PERANG SALIB

A.    Latar Belakang Terjadinya Perang Salib
1.      Timbulnya Perang Salib
            Perang Salib (The Crusades War) adalah serangkaian perang agama selama hampir dua abad sebagai reaksi Kristen Eropa terhadap Islam Asia. Perang ini terjadi karena sejumlah kota dan tempat suci Kristen diduduki Islam sejak 632, seperti di Suriah, Asia Kecil, Spanyol, dan Sicilia. Militer Kristen menggunakan salib sebagai symbol yang menunjukkan bahwa perang ini suci dan bertujuan membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerusalem) dari orang Islam.[1]
            Perang Salib awalnya disebabkan adanya persaingan pengaruh antara islam dan Kristen. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Saljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan Dinasti Fathimiyah yang berdudukan di Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka.
            Oleh karena itu, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa agar melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib karena pasukan Kristen dalam berperang mengenakan tanda salib pada pakaian yang dikenakan sebagai lambang.
            Pidato yang mungkin paling besar hasilnya dalam sejarah, ialah pidato Paus Urbanus II pada tanggal 26 November 1095 di Clermont (Prancis Selatan), orang-orang Kristen mendapat suntikan untuk mengunjungi kuburan-kuburan suci dan merebutnya dari orang-orang bukan Kristen serta menaklukan mereka. Seruan bersama “Tuhan menghendaki yang sedemikian” menggelora di seluruh negeri dan memliki pengaruh psikologis, baik di lapisan masyarakat bawah maupun atas. Di musim berikutnya 150.000 orang yang terdiri dari sebagian besar orang-orang Prancis dan Norman memenuhi panggilan tersebut dan berkumpul di Konstantinopel. Perang Pertama pun dimulai.
            Tidak semua orang dari kalangan kaum Kristen yang mengikuti Perang Salib didorong oleh keimanan terhadap agama mereka. Beberapa berperang dikarenakan dorongan nafsu untuk memperkaya diri. Para pedagang Pisa, Venesia, dan Genoa melihat kepentingan perdagangan dalam peperangan. Sebagian besar rakyat Prancis, Lotharingen, Italia, dan Sicilia yang perekonomian dan kehidupan sosialnya buruk ikut berperang dengan tujuan lain, yakni untuk memperbaiki nasib sosial mereka dan bukan bertujuan sebagai suatu pengorbanan terhadap agama mereka.
            Perang Salib berlangsung selama 200 tahun lamanya, dari mulai 1095-1293 M, dengan 8 kali penyerbuan.[2] Perang tersebut bertujuan untuk merebut kota suci Palestina dari kaum muslimin. Peperangan ini memakan korban baik jiwa maupun harta dan kebudayaan yang tidak sedikit jumlahnya. Perang tersebut juga merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan di pantai timur Laut Tengah, yang merusak hubungan antara dunia timur dan dunia barat.
            Wilayah yang paling awal merasakan akibat Perang Salib pertama, tidaklah seragam. Wilayah-wilayah ini mungkin sebagian besar adalah Sunni, tapi ada juga sejumlah kecil komunitas Syiah. Seperti di Tripoli, Aleppo dan Damaskus. Di wilayah itu juga terdapat komunitas-komunitas Kristen dan Yahudi.
            Menurut sudut pandang Islam pada saat itu Eropa Barat tidak terlalu menarik bagi kaum muslim abad pertengahan. Dari perspektif mereka, budaya mereka sendiri jelas-jelas lebih maju dan unggul. Kaum muslim abad pertengahan merasa unggul dan merendahkan kaum muslim.[3]

2.      Sebab-sebab Perang Salib
            Ada beberapa faktor yang memicu terjadinya Perang Salib. Adapun yang menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya Perang Salib ada tiga hal, yaitu agama, politik, dan sosial ekonomi.[4]
a.      Faktor Agama
            Sejak Dinasti Saljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fathimiyah pada tahun 1070 M, Pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana karena penguasa Saljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang Saljuk yang fanatic. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Saljuk sangat berbeda dari pada penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya.
b.      Faktor Politik
            Kekalahan Bizantium sejak 330 disebut Konstantinopel (Istambul) di Manzikart, wilayah Armenia, pada 1071 dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasaan Saljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comnenus (kaisar Konstantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II (1035-1099); yang menjadi Paus antara tahun 1088-1099 M, dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah pendudukan Dinasti Saljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma dan harapan untuk dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma. Pada waktu itu Paus memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar terhadap raja yang berada di bawah kekuasaannya. Ia dapat menjatuhkan sanksi kepada raja yang membangkang terhadap perintah Paus dengan mencopot pengakuannya sebagai raja.
            Di lain pihak, kondisi kekuasaan islam pada waktu itu sedang melemah sehingga orang Kristen di eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib. Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, yang dimulai sejak 485H/1082M, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik terkemuka dunia Islam dari Mekkah hingga ke timur. Sebagai tahun penuh bencana, karena di tahun ini era lainnya turut berakhir yaitu dengan wafatnya Khalifah Fatimiyah di Mesir, Al-Mustanshir.[5]
            Ketika itu Dinasti Saljuk di Asia kecil sedang mengalami perpecahan, dan diansti Fathimiyah di mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi yang demikian mendorong para penguasa Kristen di eropa untuk merebut satu persatu daerah kekuasaan Islam, seperti dinasti kecil di Edessa dan Baitul Maqdis.
c.       Faktor Sosial Ekonomi
            Para pedagang besar yang berada di pantai Timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Venesia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal ini dimungkinkan karena jalur Eropa akan tersambung dengan rute perdagangan di Timur melalui jalur strategi tersebut.
            Di samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan serta ksatria, dan rakyat jelata. Kehidupan kelompok terakhir ini sangat tertindas dan terhina. Mereka harus tunduk kepada tuan tanah yang sering bertindak semena-mena dan dibebani berbagai pihak serta sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, ketika mereka dimobilisasi oleh pihak-pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik apabila perang dapat dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan melibatkan diri dalam perang tersebut.
            Selain stratifikasi sosial masyarakat Eropa yang memberlakukan diskriminasi terhadap rakyat jelata, pada saat itu berlaku hukum waris yang menetapkan bahwa hanya anak tertua yang berhak menerima harta warisan. Apabila anak tertua meninggal, harta warisan harus diserahkan kepada gereja. Akibatnya anak-anak yang miskin sebagai konsekuensi hukum beramai-ramai pula mengikuti seruan mobilisasi umum tersebut dengan harapan yang sama, yakni untuk mendapatkan perbaikan ekonomi.[6]

B.     Peristiwa Perang Salib
            Perang Salib yang berlangsung dalam kurun waktu hampir dua abad, yakini antara tahun 1095-1291 M, terjadi dengan serangkaian peperangan.
            Para sejarahwan berbeda pendapat dalam menetapkan periodisasi Perang Salib. Prof. Ahmad Syalabi dalam At-Tarikh Al-Islami wa Al-Hadharat Al-Islamiyyah misalnya, membagi periodisasi Perang Salib itu atas tujuh periode. Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A., bahwa Perang Salib dapat dibagi dalam 3 periode.[7]
            Secara garis besar menurut hemat penulis, pada umumnya Perang Salib dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode sebagaimana disebutkan oleh Philip K. Hitti maupun Badri Yatim.[8]

1.      Periode Pertama
            Jalinan kerja sama antara Kaisar Alexius I dan Paus II berhasil membangkitkan semangat umat Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II pada Konsili Clermont (26 November 1095 M).[9] Menurut penilaian Philip K. Hitti, pidato ini kemungkinan nerupakan pidato yang paling berkesan sepanjang sejarah yang telah dibuat Paus. Pidato ini menggema ke seluruh penjuru Eropa yang membangkitkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang diikuti berbagai kalangan masyarakat.
            Sepanjang jalan menuju kota Konstantinopel, mereka membuat keonaran, melakukan perampokan, dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongaria dan Bizantium. Akhirnya dengan mudah pasukan Salib dapat dikalahkan pasukan Dinasti Saljuk.
            Pasukan salib angkatan berikutnya dipimpin oleh Godfrey di Bulion. Gerakan ini lebih merupakan ekspedisi militer yang terorganisir rapi.
            Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang eropa, sebagian besar bangsa Prancis dan Norman berngkat menuju Konstatinopel, kemudian ke Palestina. Tentara salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea, dan tahun 1098 menguasai Edessa. Di sini mereka mendirikan Kerajaan Latin I dengan Baldwin sebagai rajanya. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan Kerajaan Latin II di timur, Bohenmond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Magdis atau Yerussalem (15 Juli 1099) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan Godfrey sebagai rajanya. Setelah penaklukan Baitul Maqdis, tentara Salib melanjutkan ekspansinya, mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M), dan Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan Kerajaan Latn IV, dengan Raymond sebagai rajanya.
            Selama terjadi peperangan tersebut, kesultanan Saljuk sedang mengalami kemunduran. Perselisihan antara sultan-sultan Saljuk memudahkan pasukan salib merebut wilayah kekuasaan Islam. Dalam kondisi seperti ini muncullah seorang Sultan Damaskus yang bernama Muhammad yang berusaha mengabaikan konflik internal dan menggalang kesatuan dan kekuatan Saljuk untuk mengusir pasukan Salib. Baldwin penguasa Yerusalem pengganti Goldfrey, dapat dikalahkan oleh pasukan Saljuk ketika ia sedang menyerang kota Damaskus. Baldwin segera dapat merebut wilayah-wilayah yang lepas setelah datang bantuan pasukan dari Eropa.
            Sepeninggal Sultan Mahmud pada tahun 1127M, muncullah seorang perwira muslim yang cakap dan gagah berani. Ia adalah Imaduddin Zanki seorang pahlawan Islam termasyur dari Mousul. Ia telah mencurahkan kemampuannya dalam upaya mengembalikan kekuatan pemerintahan Saljuk dan menyusun kekuatan militer, sebelum ia mengabdikan diri di kancah peperangan salib.
            Mayarakat Aleppo dan Hammah yang menderita di bawah kekuasaan pasukan salib berhasil diselamatkan oleh Imaduddin Zanki. Tahun berikutnya ia juga berhasil mengusir pasukan salib dari Al-Asyarib. Satu persatu Zanki meraih kemenangan atas pasukan salib, hingga ia merebut wilayah Eddesa pada tahun 539H/1144 M.
            Penaklukan Eddesa merupakan keberhasilan Zanki yang terhebat. Dalam penaklukan Eddesa Zanki tidak berlaku kejam terhadap penduduk sebagaimana tindakan paukan salib. Selama ini Zanki adalah seorang patriot sejati yang telah berjuang demi membela tanah airnya. Baginya, “Pelana kuda lebih nyaman dan lebih dicintainya daripada kasur sutra, dan juga suara hiruk pikuk di medan peperangan terdengar lebih merdu dan lebih dicintainya daripada lantunan musik”.[10]
            Pada tahun 1046 M, Dalam perjalanan penaklukan Kalat Jabir, Zanki wafat terbunuh oleh tentaranya sendiri.[11]  

2.      Periode Kedua
            Wafatnya Imaduddin Zanki, membangkitkan anaknya, Nuruddin Mahmud Zanki untuk melanjutkan tugas sang ayah, meneruskan perjuangan membela agama, melakukan jihad. Pada saat itu umat Kristen Eddesa dengan bantuan bantuan paukan Prancis berhasil mengalahkan paukan muslim yang bertugas di kota ini dan sekaligus membantainya. Nuruddin segera mengerahkan pasukannya ke Eddesa dan para pengkhianat dihukum dengan mata pedang, sedangkan bangsa Armenia yang bersukutu dengan pasukan salib diusir keluar negeri Eddesa.
             Nuruddin Zanki berhasil merebut kembali Antionchea pada tahun 1149 M, dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali. Ia segera menyambut baik permohonan masyarakat Damaskus dalam perjuangan melawan penguasa Damaskus yang menindas. Keberhasilan Nuruddin menaklukan kota Damaskus membuat sang khalifah berkenan memberinya gelar kehormatan Al-Malik Al-Adil.
            Jatuhnya Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan Raja Jerman Codrad II. Keduanya mempimpin pasukan mereka dihadang oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Codrad II sendiri melarikan diri pulang ke negrinya.
            Ketika itu Mesir sedang dilanda perselisihan intern Dinasti Fatimiyah. Shawar, seorang perdana menteri Fatimiyah, dilepaskan dari jabatannya oleh gerakan rahasia. Nuruddin mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan komandan Syirkuh. Namun ternyata Shawar justru memerangi Syirkuh berkat bantuan pasukan Prancis sehingga berhasil menduduki Mesir.
            Pada tahun 563H/ 1167M Syirkuh berusaha datang kembali ke Mesir, Shawar pun segera meminta bantuan raja Yerussalem bernama Amauri. Gabungan pasukan Shawar dan Amauri ditakulan secara mutlak oleh pasukan Syirkuh dalam peperangan di Balbain. Masyarakat Mesir dan Khalifah menyambut hangat kedatanagn Syirkuh dan akhirnya menjadi perdana mentri. Kedudukannnya digantikan oleh kemenakannya yang bernama Shalahuddin. Setelah wafatnya Nuruddin pada tahun 1174M Ketika itu kondisi politik Dinasti Fathimiyah semakin melemah. Shalahuddin Al-Ayyubi segera memulihkan otoritas Khalifah Abbasiyah di Mesir, dan setelah Dinasti Fathimiyah hancur, Shalahuddin menjadi penguasa Mesir 570-590H (1174-1193M).[12]
            Sultan Malik Syah yang menggantikan Nuruddin adalah raja yang masih berusia belia, sehingga amir-amirnya saling berebut pengaruh yang menyebabkan timbulnya krisis internal. Kondisi demikian ini memudahkan bagi pasukan salib untuk menyerang Damaskus dan menundukkannya. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M.
            Kekuatan Malik Syah yang meminta bantuan pasukan salib di Aleppo pun dikalahkan oleh Shalahuddin. Semenjak kemengan melawan pasukan salib ini terbukalah jalan mendatang hingga ia berhasil mencapai kedudukan sultan. Semenjak tahun 578H/1182M, kesultanan Saljuk dipusat mengakui kedudukan Shalahuddin sebagai sultan atas seluruh wilayah Asia Barat.
            Baldwin III yang menggantikan Amaury ayahnya, mengkhianati perjanjian genjatan senjata anatar muslim dengan pasukan salib Kristen. Pada tahun 582H/1182M penguasa wilayah Kara menyerbu kabilah muslim yang sedang melintasi benteng pertahannya. Shalahuddin segera mengerahkan pasukannya untuk mengepung Kara dan selanjutnya menuju Galilei untuk menghadapi pasukan Prancis. Pada tanggal 3 Juli 1187M kedua pasukan bertempur di daerah Hittin, dimana pihak pasukan Kristen mengalami kekalahan. Ribuan pasukan mereka terbunuh, sedangkan tokoh-tokoh militer mereka ditawan. Sultan Shalahuddin selanjutnya merebut benteng pertahanan Tiberia, kota Acre, Naplus , Jericho, Ramla, Caesarea, Jaffra, Beirut, dan sejumlah kota lainnya.
            Selanjutnya Shalahuddin memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem. Setelah melakukan pengepungan pasukan salib kehilangan semngat tempurnya dan memohon kemurahan hati sang Sultan. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada 2 Oktober 1187 M. Dengan demikian, kerajaan Latin yang didirikan tentara Salib di Yerusalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
            Bangsa Romawi dan Syiria Kristen diberi hidup dan diizinkan tinggal di Yerusalem dengan hak-hak warga negara secara penuh. Bangsa Prancis dan bangsa-bangsa Latin diberi hak meninggalkan Palestina dengan membayar uang tebusan 10 dinar untuk setiap orang dewasa, dan 1 dinar untuk setiap anak-anak. Namun, diterapkan secara kaku. Shalahuddin berkenan melepaskan ribuan tawanan tanpa tebusan sepeser pun, bahkan ia mengeluarkan hartanya sendiri untuk membantu menebus sejumlah tawanan.
            Pada sisi lainnya Shalahuddin juga membina ikatan persaudaraan antara warga Kristen dengan warga muslim dengan memberikan hak-hak orang Kristen sama persisi dengan hak-hak warga msulim di Yerusalem. Sikap Shalahuddin ini mebuat umat Kristen di negeri-negeri lain ingin sekali tinggal di wilayah kekuasaan sang sultan ini. perlakuan baik pasukan muslim terhadap umat Kristen ini sungguh tidak ada bandingannya sepanjang sejarah dunia. Padahal sebelumnya pasukan salib Kristen telah berbuat kejam, menyiksa, dan menyakiti warga muslim.[13]           
            Jatuhnya Yerusalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard The Lion Hart raja Inggris, dan Philip Augustus raja Pramcis. Pada tanggal 14 september 1189M Shalahuddin terdesak pasukan salib, namun kemenkaanya yang bernama Taqiyuddin berhasil mengusir pasukan salib dari posisinya dan mengembalikan hubungan dengan Acre. Kota Acre kembali terkepung selama hampir dua tahun. Segala upaya pertahanan pasukan muslim semakin tidak membawa hasil, bahkan mereka merasa frustasi ketika Richard dan Philip August tiba dengan kekuatan pasukan salib yang maha dahsyat.
            Sultan Shalahuddin merasa kepayahan menghadapi peperangan ini. Sementara itu pasukan muslim dilanda wabah penyakit dan kelaparan. Masytub seorang komandan Shalahuddin akhirnya mengajukan tawaran damai dengan kesedian atas beberapa persyaratan sebagaimana yang telah diberikan kepada pasukan Kristen sewaktu penaklukan Yerussalem dahulu. Namun, sang raja yang tidak mengenal balas budi ini sedikit pun tidak memberi belas kasih terhadap umat msulim. Ia membantai pasukan muslim secara kejam.
            Meskipun pasukan salib Kristen mendapat tantangan berat dari Shalahuddin akan tetapi mereka berhasil merebut Akka/Ascalon yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin, tetapi mereka tidak berhasil berhasil merebut Palestina. Mereka tidak berdaya mengepung kota ini, Richard mengirimkan delegasi perdamaian menghadap Shalahuddin. Pada tanggal 2 November 1192M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh Ar-Ramlah. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa antar pihak muslim dan pihak pasukan salib menyatakan bahwa wilayah kedua belah pihak saling tidak menyerang dan menjamin keamanan masing-masing, dan bahwa warga negara kedua belah pihak dapat saling keluar masuk ke wilayah lainnya tanpa gangguan apa pun. Jadi perjanjian damai yang menghasilkan kesepakatan di atas mengakhiri Perang Salib ketiga.
menyatakan orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
            Tidak lama kemudian, setelah perjanjian itu disepakati, Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi pahlawan Perang Salib itu meninggal dunia pada Februari 1193 M.[14]

3.      Periode Ketiga
            Dua tahun setelah meninggalnya Shalahuddin Perang Salib berkobar juga atas inisiatif Paus Celesti III. Namun, sesungguhnya peperangan antara pasukan muslim dengan pasukan Kristen telah berakhir sehingga peperangan berikutnya tidak banyak dikenal.
            Pada tahun 1195M pasukan salib menundukkan Sicilia, kemudian terjadi beberapa kali penyerangan terhadap Syria. Pasukan Kristen ini mendarat di pantai Phoenecia dan menduduki Beirut. Anak Shalahuddin yang bernama Al-Adil segera menghalau pasukan salib. Ia selanjutnya menyerang kota perlindungan pasukan salib. Mereka kemudian mencari perlindungan ke Tibinim, lantaran makin kuatnya tekanan dari pasukan muslim, pasukan salib akhirnya menempuh inisiatif damai. Sebuah perundingan menghasilkan kesepakatan pada tahun 1198M, bahwa peperangan ini harus dihentikan selama tiga tahun.
            Belum genap tiga tahun, Kaisar Innocent III menyatakan secara tegas berkobarnya Perang Salib kembali setelah berhasil menyusun kekuatan militer. Jendral Richard di Inggris menolak keras untuk bergabung dalam pasukan salib ini, sedang mayoritas penguasa Eropa lainnya menyambut gembira seruan perang tersebut. Pada kesempatan ini pasukan salib yang bergerak menuju Syiria tiba-tiba membelokkan gerakannya menuju Konstantinopel. Mereka membantai tibuan bangsa Romawi baik laki-laki maupun perempuan.
            Pada tahun 613H/1216M, Innocent III juga mengorbankan propaganda perang salib kembali. Namun, akibat serangan pasukan muslim yang terus-menerus mereka menjadi terdesak dan terpaksa menempuh jalan damai dengan syarat bahwa pasukan salib harus segera meninggalkan kota Dimyat.
            Untuk mengatasi konflik politik internal, Sultan Kamil mengadakan perundingan kerjasama dengan seorang jendral Jerman yang bernama Frederick. Frederick bersedia membantunya menghadapi musuh-musuhnya dari kalangan Bani Ayyub sendiri, sehingga Frederick nyaris menduduki dan sekaligus berkuasa di Yerusalem.[15]
            Tentara salib pada periode ketiga ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir terlebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan mendapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibti. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki kota Dimyat. Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu Al-Malikul Kamil membuat perjanjian dengan Frederick. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1247 M, di masa pemerintahan penguasa Mesir selanjutnya yaitu Al-Malikush Shalih. Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik pengganti Dinasti Ayyubiyah, pimpinan kaum muslimin dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka/Ascalon dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1291 M.
            Dalam peride ini telah terukir dalam sejarah munculnya pahlawan wanita Islam yang terkenal gagah berani, yaitu Syajar Ad-Dur. Ia berhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX dari Prancis dan sekaligus menangkap raja tersebut. Bukan hanya itu, sejarah mencatat bahwa pahlawan wanita gagah perkasa ini telah mampu menunjukkan sikap kebesaran Islam dengan membebaskan dan mengizinkan Raja Louis IX kembali ke negrinya, Prancis.[16]
            Meskipun menderita kekalahan dalam Perang Salib, pihak Kristen Eropa telah mendapatkan hikmah yang btidak ternilai karena mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban islam yang sudah demikian maju. Bahkan, kebudayaan dan Peradaban yang mereka peroleh dari Timur-Islam menyebabkan lahirnya renaisans di Barat. Mereka membawa kebudayaan dati Timur-Islam ke Barat terutama dalam bidang militer, seni, perindustrian, perdagangan, pertanian, astronomi, kesehatan, dan kepribadian.
            Demikianlah Perang Salib yang terjadi di Timur. Perang ini tidak hanya berhenti di Barat, Di Spanyol sampai akhirnya umat Islam terusir dari Spanyol Eropa. Akan tetapi meskipun demikian, mereka tidak dapat merebut apan pun dari tangan kaum muslimin, dan tidak dapat menurunkan bendera Islam dari Palestina.
            Walaupun umat islam telah berhasil mempertahankan daerah-daerah dari tentara salib, namun kerugian akibt perang itu sangat banyak. Kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik kaum muslimin menjadi lemah.[17]

C.    Tokoh-Tokoh Perang Salib
1.      Imaduddin Zanki
            Zanki menjadi atabeg Mosul ditahun 1127, dan Aleppo ditahun 1128, mempersatukan dua kota tersebut dalam satu pemerintahan, dan secara formal dinobatkan oleh Sultan Mahmud II dari kesultanan Saljuk Agung.
            Imaduddin Zanki adalah seorang pemimpin yang semangat dan kemauan tinggi. Belia bukan pula seorang yang kaya yang rakus akan sesuatu. Tidak pernah menggunakan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri. imaduddin Zanky juga seseorang yang memiliki cita-cita tinggi. Beliau berkeinginan untuk membuat kerajaan Islam yang besar dan kuat untuk menghadapi kaum salib, menjauhkan bahaya dari kaum muslimin dan juga mengembalikan kerajaan Islam.
            Upaya Imaduddin Zanky untuk memperkuat negrinyadi mulai dari dalam negri. Berbagai usaha dilakukan untuk menjamin keamanan dan keadilan masyarakatnya. Dan dengan bekal demikian di lakukan upaya-upaya keluar untuk memperluas wilayahnya. Dengan cepat upaya ini berhasil. Dalam waktu relkatif singkat, kerajaan Zanky gtelah meliputi seluruh dataran rendah dan tinggi Furat, Himsh Khamat, Aleppo, Ba’labakka, dan Ma’arrat Nu’man.[18]

2.      Nuruddin Mahmud Zanky.
            Sepeninggal Imaduddin Zanky, kerajaan dibagi dua. Nyaitu bagian timur dibawah kekuasaan Saifuddiun Ghazi dengan ibu kotanya di Mussi. Bagian Barat diperuntukkan untuk Nuruddin Mahmud dengan ibu kotanya Halab. Kedua anak-anak ini adalah anak Imaduddin Zanky.
            Ia bukan hanya seorang prajurit yang cakap, ia juga sekaligus sebagai ahli hukum dan seorang ilmuan. Wilayah kekuasaan Nuruddin Mahmud langsung berbatasan dengan kerajaan-kerajaan Salibiyah. Inilah yang membuat Nuruddin Mahmud untuk selalu berjuang dan bertahan dari serangan atau serangan kaum salib. Hampir seluruh hidupnya diperuntukkan untuk perjuangan me;lawan dan menghadapi kaum salib. Dan kegigihan inilah yang membuatnya salah satu pahlawan besar islam.

3.      Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi
            Shalahuddin Al-Ayyubi atau tepatnya Salahuddin Yusuf bin Ayyub, atau Salah ad-Din atau Saladin (menurut lafal orang barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam tharikh (sejarah) Islam. Ia mendapat gelar al-Malik al-Nashir.[19] Saladin adalah seorang jendral dan pejuang muslim dari bangsa Kurdi di Takrit (daerah utara irak). Di lahirkan di Takrit pada tahun 432H/1137M. Ayahnya adalah pejabat kepercayaan pada masa Imaduddin Zanki dan masa Nuruddin. Beliau berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir, Suriah, Yaman, dan Irak pada tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada 2 Oktober 1187 M. Shalahuddin terkenal di dunia muslim dan Kristen karena kepimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria.
            Nuruddin Zanky pernah memerangi saladin. Nuruddin takut jangan-jangan kekuasaan Shalahudin akan menghilangkan kekuasaannya. Tetapi serangan itu tidak berhasil. Nuruddin berhasil dikalahkan dan perjanjian dikukuhkan.Nuruddin berkuasa atas derah Syam dan sekitarnya, seperti semula sementara daerah lain berada di bawah kekuasaan orang lain.
            Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama.Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud, ia adalah orang yang berhasil menaklukan Yerussalem. Sesudah perjanjian disepakayti, Shalahudin meninggalkan Aleppo menuju ke Hamah. Dikota itulah Shalahudin mendapatkan gelar “Sultan” oleh Khalkifah Abbasiyah yang berkuasa kala itu.[20]


4.      Raja Raymon
            Dalah Raja Tripoli yang menikah dengan seorang Ratu Tibriah. Ketika Raja Tibriyah meninggal karena sakit lepra, kerajaan diwariskan kepada anak laki-laki saudara perempuannya yang lain. Anak tertsebut masih kecil. Karena Raymon adalah seorang Raja pula, maka anak tersebut dipercayakan pemeliharaannya kepada Raymon suami Istri.
            Raymon yang merasa menjadi wali anak tersebut mulailah memegang kekuasaan. Dia berkuasa secara rakus. Raymon memerintah dengan menurutkan kata hatinya sendiri. merasakan nikmatnya berkuasa, Raymon memimpin untuk terus menguasai pikiran demikian menumbuhkan ide lain. Yaitu menghabisi nyawa anak itu. Jika anak itu mati maka ibunyalah yang akan menggantikan. Dan yang dmikian akan mempermudah Raymon untuk mengambil alih kekuasaan. Tapi impian manis itu kabur karena satu hal.
            Yaitu si anak tidak mati. Ibunyapun tertarik kepada seorang Eropa baru datang ke kerajaan mereka bernama Jaidie Louziyrian. Bahkan mereka kemudian menikah. Musnahlah impian Raymon untuk menguasai kekuasaan secara sepenuhnya. Karena dengan demikian, secara otomatis kekuasaan berpindah ketangan ayah dan ibu anak itu.

5.      Raja Richard “The Lion Heart” dari Inggris
            Richard I (6 September 1157 – 6 April 1199) adalah raja Inggris antara tahun 1189 sampai 1199.Ia sering juga dijuluki Richard si Hati Singa (Inggris: Lion heart, Perancis: Cœur de Lion) karena keberaniannya. Ia adalah anak ketiga dari Henry II dari Inggris, dan merebut tahta Inggris dari ayahnya dengan bekerja sama dengan Phillip II dari Perancis pada tahun 1189. Richard I terkenal sebagai salah satu tokoh dalam Perang Salib, di mana salah satu keberhasilannya dalam perang tersebut adalah merebut Siprus untuk mendukung pasukan Perang Salib.setelah sampai di Acre Richard kemudian merebut Kota Acre pada tahun 1191 dan kemudian Richard mulai mengarahkan pasukannya untuk menyerbu Yerusalem. Pasukan Richard berjalan melalui garis pantai antara kota Acre dan Jaffa, ketika perjalanan menuju Kota Jaffa pasukan Richard dihadang pasukan Saladin dan terjadilah pertempuran di dekat kota Arsuf yang dimenangkan Richard dan memaksa Saladin mundur ke Yerusalem untuk bertahan. Richard akhirnya memasuki kota jaffa tanpa perlawanan karena kota sudah dibakar oleh Saladin.  
            Raja Richard sebenarnya masuk kedalam lima kapal yang berangkat dan jatuh ketangan Islam. Tetapi raja ini selamat karena dia singgah lebih dahulu untuk menaklukan dan m,enguasai Cyprus. Cyprus dapat direbut dari tangan Romawi. Dengan dua puluh kapal dengan banyak harta benda, Raja Richard melanjutkan perjalanan manuju ‘Aka. Perjalanan armada ini selamat, bebas dari serangan kapal Islam sampai ke ‘Aka. Kedatangan pasukan Inggris ini mebawa semangat baru. Pasukan Eropa yang mengepung ‘Aka semakin bersemangat untuk segera menundukkan kaum muslimin. Mengapa demikian?.. Ya, sebab Raja Richard di masa itu sudah cukup terkenal. Seorang yang penuh keberanian, lihai dalam tipu mjuslihat, cerdik, tabah dan terkenal sabar. Pokoknya dalam masa itu balum ada yang bisa menandinginya.[21]


D.    Kota-Kota Penting dalam Perang Salib
1.      Baitul Maqdis atau Yerussalem
            Adalah kota di Palestina yang merupakan kota suci bagi tiga agama yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Pada Perang Salib kota ini adalah sebuah kota yang menjadi rebutan bagi orang Kristen dan Islam. Kota ini merupakan akar permasalahan dari terciptanya Perang Salib itu sendiri. Pada tahun 1187, Yerussalem direbut oleh Saladin dari pasukan salib dan masuk kedalam wilayah Dinasti Ayyubiyah.
            Saat ini Yerussalem menjadi bagian dari Israel secara de facto, kota ini juga di klaim oleh Israel sebagai ibukotanya. Oleh orang Palestina juga dianggap bahwa kota ini menjadi Ibukota negaranya. Sampai sekarang kota ini masih menjadi perebutan yang masih tiada akhir.
2.      Antiochea
            Antiochea atau Antioch atau Antiokhia adalah sebuah kota yang terletak di tenggara wilayah negara Turki dan sebelah utara negara Suriah. Kota ini menjadi penting bagi umat Kristen karena di jadikan pusat ajaran agama Kristen.  Kota ini dikepung oleh pasukan muslim cukup lama dan di anggap lebih penting dari Edessa.
3.      Edessa
            Kerajaan Edessa yang terletak di wilayah Turki sekarang ini dikepung oleh pasukan Zanki dan berhasil dihancurkan pada tahun 1144. Berita jatuhnya Edessa membuat di mulainya Perang salib kedua yang dipimpin oleh Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman. Tapi penyerangan dari pasukan salib ini gagal dan Edessa tidak pernah bangkit lagi.
4.      Akka atau Askalon
            Akka atau Askalon atau Ashkelon adalah sebuah kota ini terletak pada kawasan Palestina di pesisir Laut Tengah. Di akhir perang salib kota ini akhirnya dapat di rebut pasukan salib oleh bantuan  Raja Richard dari Inggris.


[1] Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010. Hlm. 231
[2] Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2004. Hlm 182
[3] Carole Hillenbrand, Perang Salib Sudut Pandang Islam. Jakarta: PT Serambi ilmu Semesta, 2005. Hlm 318
[4] Prof. Dr. Azyumardi, M.A., Ensiklopedia Islam Jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005. Hlm 154-155
[5] Carole Hillenbrand, Perang Salib Sudut Pandang Islam. Jakarta: PT Serambi ilmu Semesta, 2005. Hlm 43
[6] Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010. hlm 234-237
[7] Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Hlm 77
[8] Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010. hlm 237-238
[9] Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005. Hlm 155
[10] Prof. K. Ali, Sejarah Islam Pramodern, Jakarta: Srigunting. Hlm 278
[11] Sunanto, Musyifah. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media, 2004. Hlm 184
[12] Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010. Hlm 244-246
[13]Prof. K. Ali, Sejarah Islam Pramodern, Jakarta: Srigunting. Hlm 283
[14] Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010. Hlm 239-240
[15] Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010. Hlm 250-251
[16] Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.
[17]Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.  Hlm 240-241
[18] DR. Mahmud Syalabi, Shalahuddin al-Ayyubi “pahlawan perang salib”. CV pustaka mantiq, jakarta: desember 1989. Hlm 32
[19] Mahayudin Hj. Yahaya dan Ahmad Jelaini Halimi. Sejarah Islam. Selangor: 1997. Hlm 377
[20] DR. Mahmud Syalabi, Ibid. Hlm 52
[21] Muhammad Ali Fakih, Tokoh-Tokoh Perang Salib Paling Fenomenal. Najah, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar